Bab 2- Deskripsi

A. Deskripsi Teoritis

Dalam deskripsi teoritis ini secara berturut-turut akan dijelaskan tentang ketiga variabel yang menjadi objek penelitian, yaitu sikap guru pada proses pembelajaran, persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah, dan persepsi guru terhadap lingkungan kerja.

1. Sikap Guru pada Proses Pembelajaran

Sikap merupakan salah satu aspek penting kepribadian seseorang, sebab sikap seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa dapat mempengaruhi terhadap tindakan orang tersebut dalam bereaksi terhadap objek atau peristiwa tersebut. Sikap sering diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk menyenangi atau tidak menyenangi sesuatu rangsangan atau objek yang dihadapinya atau dihadapkan kepadanya.

Milton menyatakan bahwa “Attitudes are regularities of an individual’s feelings thoughts, and predisposition to act toward some aspect of his her envirolment.”[46] Sedangkan Secord dan Bachman mengatakan bahwa “Attitude refers to certain regulaties of an individual’s feeling, thoughts, and predispositions to act toward some aspect of his envirolment.”[47]

H.C. Witherington berpendapat bahwa “sikap adalah kecenderungan untuk berfikir atau merasa dalam cara yang tertentu atau menurut saluran-saluran tertentu. Sikap adalah cara bertingkah laku yang karakteristik, yang tertuju terhadap orang-orang, rombongan-rombongan.”[48]

Dari pengertian di atas terlihat bahwa sikap merupakan salah satu aspek kepribadian yang mantap, baik dalam cara berpikir, merasa maupun berkecenderungan untuk berbuat terhadap sesuatu ide, objek, peristiwa atau situasi. Sikap bukan tingkah laku, tetapi kecenderungan untuk bertingkah laku. Sikap dipengaruhi oleh pengalaman, sifatnya teratur dan berkesinambungan, kendatipun tidak bersifat tetap dan dapat berubah.

Perumusan yang lain yang dikemukakan oleh Mc. Dougall seperti dikutif Kartono menyatakan bahwa sikap adalah sentimen. Sentimen merupakan totalitas dari instink-instink yang terorganisir, yang berkaitan erat dengan emosi-emosi. Semuanya menjadi sumber penyebab tingkah laku manusia, sehingga menimbulkan bentuk tingkah laku yang berkesinambungan, teratur dan berlangsung cukup lama.[49]

Rumusan di atas tampaknya terlalu menekankan aspek bawaan, dan kurang menunjukkan pengaruh pengalaman terhadap sikap, sedangkan sikap itu sendiri turut terbentuk oleh pengalaman-pengalaman individu.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para akhli, Rahmad menyimpulkan tentang sikap sebagai berikut :

Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berfikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan berperilaku dengan cara tertentu terhadap obyek sikap. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi, sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu. Sikap relatif lebih mantap dan mengandung unsur evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sikap timbul dari pengalaman dan tidak dibawa dari lahir.[50]

Pengaruh pengalaman justru tampak jelas pada pendapat Allport sebagaimana dikutif oleh Mouly yang mendefinisikan sikap sebagai berikut :

An attitude is mental and neural state of readiness, organized thruogh experience, exerting a directive or dinamic influence upon the individual’s response to all objects and situations with which it is related.[51]

Pendapat di atas menjelaskan bahwa sikap bukanlah sesuatu yang semata-mata dibawa sejak lahir. Sikap lebih banyak terbentuk melalui pengalaman-pengalaman individu. Pengalaman-pengalaman tersebut membentuk suatu kecenderungan pada individu dalam berfikir, merasa, maupun bertindak terhadap objek yang disikapinya. Misalnya sikap terhadap demokrasi, agama, berorganisasi, jenis makanan tertentu, jenis musik tertentu. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa sikap memang banyak terbentuk melalui pengalaman-pengalaman individu.

Stephen P. Robbins memberikan definisi tentang sikap sebagai suatu “ … pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan atau tak menguntungkan mengenai sesuatu.”[52] Sedangkan Yanto Subiyanto mendefinisikan bahwa “ Sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu.”[53]

Sedangkan W. Jack Duncan mendefinisakan sikap atau atitude sebagai “ a predisposition to react in some manner to an individual or situation”[54] Dikatakan bahwa sikap adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu rangsangan yang timbul dari seseorang atau dari suatu situasi.

Dari beberapa pendapat di atas terlihat bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa akan menentukan perilaku terhadap objek atau peristiwa yang disikapinya, sebab menurut Yanto Subiyanto sikap memiliki ciri-ciri :

1. Dalam sikap selalu terdapat hubungan subjek dan objek, …

2. Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman.

3. Karena sikap dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan lingkungan disekitar individu yang bersangkutan pada saat yang berbeda.

4. Dalam sikap yang bersangkutan, tersangkut pula faktor motivasi dan perasaan, inilah yang membedakannya dari misalnya dengan ilmu pengetahuan.

5. Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan sudah dipenuhi. Jadi berbeda dengan refleks atau dorongan, …

6. Sikap tidak hanya satu macam saja … sesuai dengan banyaknya objek yang dapat menjadi perhatian orang yang bersangkutan.[55]

Sikap merupakan penggerak tingkah laku manusia secara teratur dan berkesinambungan. Mengenai hubungan antara sikap dengan tingkah laku, Leon Festinger mengemukakan teori “disonans kognitif”. [56] Disonans berarti suatu inkonsistensi (ketidakkonsistenan). Disonans kognitif mengacu pada setiap ketidaksesuaian yang mungkin dipersepsikan oleh seorang individu antara dua sikapnya atau lebih, atau antara perilaku dan sikapnya. Festinger berargumen bahwa setiap bentuk inkonsistensi tidak menyamankan dan bahwas individu-individu akan berupaya mengurangi dominans itu dan dari situ mengurangi ketidaknyamanan. Oleh karena itu, individu-individu akan mengusahakan keadaan mantap dimana disonans minimum. Selanjutnya dikemukakan bahwa hasrat untuk mengurangi disonans akan ditetapkan oleh pentingnya unsur-unsur yang menciptakan disonans itu, derajat pengaruh yang diyakini dipunyai oleh individu terhadap unsur-unsur itu, dan ganjaran yang mungkin tersangkut dalam disonans.[57]

Seseorang mempunyai sikap negatif terhadap suatu objek, peristiwa atau ide, ia cenderung kapan pun dan dimana pun untuk tidak mendukung objek, peristiwa atau ide yang disikapinya tersebut. Bila seseorang mempunyai masa bodoh terhadap objek sikap, maka ia cenderung selalu tidak peduli dengan objek yang disikapi itu. Dalam hubungannya dengan hal ini, Mar’at mengemukakan bahwa sikap berarti ada sesuatu tekanan yang kuat dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Sikap tidak bersifat tetap, tetapi dalam kurun waktu tertentu dapat berubah. Bila pengalaman berubah dari biasa dan sangat terkesan, maka ada kemungkinan pengalaman tersebut mempengaruhi sikap individu terhadap objek yang disikapi. Aspek kognitif dan aspek perasaan merupakan ekspresi internal dari sikap, sedangkan kecenderungan bertingkah laku merupakan ekspresi dari sikap.

Perubahan sikap pada seseorang dapat disebabkan oleh proses interaksi dengan lingkungan atau melalui proses pendidikan. Perubahan sikap dapat terjadi secara sebangun dan dapat pula terjadi secara tidak sebangun. Perubahan yang sebangun adalah perubahan dalam intensitas saja.. Misalnya, seseorang yang semula bersikap “sangat setuju” menjadi “setuju”. Sedangkan perubahan yang tidak sebangun adalah perubahan yang bersifat perpindahan arah, misalnya seseorang yang semula bersikap “sangat setuju” berubah menjadi “tidak setuju” atau kebalikannya.[58]

Konsep sikap sebagaimana disebutkan diatas berlaku secara universal, termasuk didalamnya sikap guru. Bila sikap guru pada proses pembelajaran positif, maka kecenderungannya adalah akan melaksanakan proses pembelajaran dengan baik. Demikian pula sebaliknya, jika sikap guru pada proses pembelajaran negatif, maka kemungkinan untuk tidak berusaha menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik. Hal ini akan berdampak pada hasil pembelajaran yang sudah pasti tidak akan memuaskan. Jangankan bagi guru yang tidak diimbangi dengan sikap positif pada proses pembelajaran, guru yang dapat mengajar dengan cermat sekalipun tetapi kalau tidak bertolak dari tujuan tertentu, maka pelajaran yang diberikan pasti tidak akan banyak berguna.[59]

Sikap guru pada proses pembelajaran akan diimplementasikan dalam perilakunya ketika melaksanakan proses pengajaran itu sendiri. Oleh karena itu perilaku guru dalam proses pembelajaran dapat menunjukkan tingkat profesional guru itu sendiri. Perilaku guru menurut Glickman dapat diklasifikasikan menjadi empat klasifikasi, yaitu : (1) Guru dengan komitmen rendah; (2) Guru dengan komitmen tinggi; (3) Berpikir abstrak tingkat rendah; dan (4) Berpikir abstrak tingkat tinggi.[60]

Penjelasan keempat klasifikasi tersebut di atas diuraikan sebagai berikut :

a. Guru dengan komitmen rendah.

Guru yang termasuk memiliki komitmen rendah akan sedikit sekali memikirkan para peserta didiknya dan teman seprofesi. Guru dengan katagori ini hanya memikirkan keuntungan sendiri dan hanya berbuat sedikit terhadap pekerjaannya. Guru semacam ini juga memberikan waktu yang sedikit dan hanya mengeluarkan energi sedikit untuk mengerjakan tugasnya. Tingkah laku di sekolah biasanya ditunjukkan dengan terlambat datang dan paling awal meninggalkan sekolah, jarang sekali menjadi sukarelawan, atau melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan siswa atau kepanitiaan serta menerima tugas-tugas ekstra sekolah.

b. Guru dengan komitmen tinggi

Guru dengan komitmen tinggi akan dapat mencapai titik pribadi dan pengembangan profesionalnya yang mampu memfokuskan diri untuk memikirkan siswa dan teman seprofesinya dan menyediakan waktu serta energinya untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Guru ini patut menjadi contoh. Guru yang bersangkutan akan berbuat lebih banyak diluar tugasnya.

c. Berpikir abstrak tingkat rendah

Guru yang tidak mampu berpikir abstrak dalam mengajar, akan berpendapat bahwa ia mempunyai kesulitan dengan pengaturan kelas, karena perencanaan yang kurang baik, yang sebenarnya masalah mengajar yang dihadapi adalah pembuatan satuan pelajaran yang kurang baik, atau apabila ia gagal dalam penyajiannya, para siswa yang disalahkan karena kepala sekolah yang selalu menyalahkan dia. Seringkali guru yang termasuk dalam klasifikasi ini hanya memiliki jawaban-jawaban yang terbatas terhadap masalahnya.

d. Berpikir abstrak tingkat tinggi

Guru yang memiliki kemampuan berpikir abstrak tingkat tinggi dapat melihat suatu masalah dari berbagai sudut. Guru semacam ini memiliki pengetahuan teknis tentang belajar-mengajar dengan baik dan mampu mendiagnosa aspek dari bermacam-macam masalah. Apabila guru tersebut menghadapi suatu masalah, yang brsangkutan mencari berbagai jalan pemecahannya beserta implikasi setiap pemecahan masalah dan selanjutnya memilih yang paling sesuai dan menerapkan pilihannya.

Persoalan penting dengan adanya berbagai kemungkinan tentang sikap dan perilaku guru terhadap pengajaran, yaitu persoalan keberhasilan proses pengajaran. Sulit tujuan pengajaran akan tercapai apabila sikap guru terhadap pengajaran negatif. Sedangkan tujuan pengajaran harus sejalan dengan tujuan pendidikan, baik tujuan institusional maupun tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian sudah dapat dipastikan apabila tujuan pengajaran tidak berhasil, maka jelas tujuan instutisional dan tujuan pendidikan nasional tidak akan tercapai pula.

Oleh karena itu melalui proses pengajaran, guru-guru bertanggung jawab untuk memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang memungkinkan siswa berkembang dengan baik. Dalam proses pengajaran guru hendaknya memperhatikan kegiatannya dalam hal :

1. Mendorong siswa untuk belajar aktif.

2. Suka membimbing siswa dalam mengerjakan mata pelajaran, tanpa pamrih pribadi.

3. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi siswa yang kurang cepat dalam belajarnya.

4. Bersikap adil.

5. Selalu menilai tugas/pekerjaan siswa.[61]

Sedangkan Ratchs, sebagaimana dikutif Djam’an Satori mengemukakan tiga belas fungsi yang diharapkan dimiliki oleh seorang guru, yaitu :

1. berinisiatif, membimbing dan memberi arah,

2. mengubah dan menyempurnakan kurikulum,

3. memberitahukan, menerangkan dan menunjukkan bagaimana caranya,

4. melaksanakan dengan membangkitkan rasa aman dan terjamin

5. proses penjelasan, dari anggapan sampai kepada pembuktian,

6. mengkoordinir kerja kelompok,

7. membantu memperkaya masyarakat,

8. meneliti dan memperbaiki pekerjaan,

9. “evaluating, recording dan reporting”,

10. “school-wide function”.

11. memelihara keindahan kelas,

12. memelihara dan meningkatkan karier profesional,

13. hidup sebagai warga negara yang baik.[62]

Berdasarkan pendapat di atas dapat dilihat bahwa tugas guru tidak hanya terbatas pada kegiatan di kelas, tapi juga mempunyai peranan penting dalam proses pengambilan keputusan. Walaupun demikian, guru bekerja dalam lingkungan dimana tugasnya telah ditetapkan dengan jelas dan dimana mereka berkesempatan untuk berpartisipasi dalam merumuskannya.

Pengajaran merupakan interaksi akademis antara guru dengan siswa di tempat, pada waktu dan dengan isi yang telah ditentukan. Dalam Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengarar disebutkan bahwa belajar mengajar adalah interaksi atau hubungan timbal balik antara siswa dengan guru dan antar sesama siswa dalam proses pembelajaran. Pengertian interaksi mengandung unsur saling memberi dan menerima. Dalam setiap interaksi belajar mengajar ditandai sejumlah unsur, yaitu : (1) Tujuan yang hendak dicapai; (2) Siswa dan Guru; (3) Bahan pelajaran; (4) Metode yang digunakan untuk menciptakan situasi belajar mengajar; dan (5) Penelitian yang fungsinya untuk menetapkan seberapa jauh ketercapaian tujuan.[63]

Suatu proses pembelajaran dapat berjalan efektif bila seluruh komponen yang berpengaruh dalam kegiatan tersebut saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran digambarkan dalam skema dibawah ini.

Guru, Metode, Kurikulum, Sarana

PBM

Lingkungan

Siswa

Siswa yang berhasil

Gambar 1. Komponen yang berpengaruh pada Proses Pembelajaran

Skema di atas menggambarkan bahwa hasil belajar siswa akan tergantung pada komponen :

1. Siswa

Faktor diri siswa yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar adalah bakat, minat, kemampuan, dan motivasi untuk belajar. Siswa merupakan masukan mentah (raw input).

2. Kurikulum

Kurikulum mencakup : Landasan Program dan Pengembangan, GBPP dan Pedoman GBPP berisi materi atau bahan kajian yang telah disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa.

3. Guru

Guru bertugas membimbing dan mengarahkan cara belajar siswa agar mencapai hasil optimal. Besar kecilnya peranan guru akan tergantung pada tingkat penguasaan materi, metodologi, dan pendekatannya,

4. Metode

Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektivitas dan efesiensi proses pembelajaran.

5. Sarana Prasarana

Yang dimaksud dengan sarana prasarana antara lain buku pelajaran, alat pelajaran, alat praktek, ruang belajar, laboratorium dan perpustakaan. Kurikulum, guru, metode, dan sarana prasarna merupakan “masukan instrumen” yang berpengaruh dalam proses belajar.

6. Lingkungan

Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, budaya dan juga lingkungan alam, merupakan sumber dan sekaligus masukan lingkungan. Pengaruh lingkungan sangat besar dalam proses belajar.[64]

Dari keenam komponen yang berpengaruh terhadap hasil belajar tersebut yaitu komponen guru sebab guru yang akan mengelola komponen lainnya. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa proses mengajarlah yang memegang peranan penting dalam suatu proses pembelajaran.

Dalam hubungannya dengan hal diatas, sekurang-kurangnya terdapat tiga pandangan konsep mengajar dalam pengajaran sebagaimana dikemukakan S. Nasution, yaitu :

a. Mengajar adalah menanamkan pengetahuan pada anak;

b. Mengajar adalah menyampaikan kebudayaan pada anak;

c. Mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisir atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar.[65]

Pandangan pertama dan kedua bersifat teacher-centered, artinya guru yang memegang peranan utama. Dalam teacher-centered, guru mendominasi kegiatan pembelajaran yang tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif berpartisipasi. Kondisi seperti ini (domination), menurut Anderson memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Determines a detail or acts for the child in carrying out a detail.

2. Direct refusal.

3. Relocating, repeating, or placing children in different relations to each other or to property.

4. Postponing, slowing up the child.

5. Disapproval, blame, or obstruction.

6. Warning, threats, or group activity.

7. Rations material.

8. Lecture method (defining a problem or anticipating a question).

9. Questions: lecture method (one-answerd question) recitation.

10. Perfunctory questions as statements (indifference).[66]

Sedangkan pandangan ketiga lebih bersifat pupil-centered, yaitu kegiatan lebih banyak memerankan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pada kondisi seperti ini terjadi integrasi antara guru dengan siswa sehingga iklim pembelajaran menjadi lebih hidup. Anderson mengemukakan ciri-ciri kondisi pembelajaran integrasi, sebagai berikut :

1. Approval.

2. Accepts differences.

3. Extends invititations to activity.

4. Question or statement regarding child’s expressed interest or activity.

5. Builds up (helps child to better definition or solution without giving final answer).

6. Participates in joint activity with children.

7. Gives sympathy.

8. Gives permission.[67]

Dari dua kondisi diatas masing-masing dapat menimbulkan suasana dan iklim kelas yang berbeda sehubungan dengan keduanya pula memiliki karakteristik yang berbeda. Ada tujuh katagori tingkah laku guru sebagai indikator menciptakan iklim kelas, yang dikenal dengan Withall’s classroom climate categories

1. Learner-supportive statements that have the intent of reassuring or commending the pupil.

2. Acceptant and clarifying statements having an intent to convery to the pupil the feeling that the was undarstood and help him elucidate his ideas and feelings.

3. Problem-structurings statements or questions which proffer information or raise questions about the problem in an objective manner with intent to facilitate learner’s problem-solving.

4. Neutral statements which comprise polite formalities, administrative comments, verbatim repetition of something that has already been said. No intent inferable.

5. Directive or hortative statements with intent to have pupil follow a recommended course of action.

6. Reproving or deprecating remarks intended to deter pupil from continued indulgence in present “unacceptable” behavior.

7. Teacher self-supporting remaks intended to sustain or justify the teacher’s position or course of action.[68]

Dalam proses pengajaran perlu memperhatikan aspek-aspek di atas agar iklim kelas yang dibangun dapat mendukung keberhasilan proses pengajaran itu sendiri. Iklim kelas yang kondusif sangat besar artinya bagi guru dalam proses pencapaian tujuan pengajaran. Dilihat dari sisi guru, iklim kelas yang kondusif juga didukung oleh kewibawaan atau otoritasnya, artinya guru harus mampu mengendalikan, mengatur, dan mengontrol kelakuan anak. Dengan kewibawaan guru dapat menegakkan disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses pengajaran. S. Nasution menekankan bahwa :

“Dalam pendidikan kewibawaan merupakan syarat mutlak. Mendidik ialah membimbing anak dalam perkembangannya ke arah tujuan pendidikan. Bimbingan atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak anak dan kepatuhan diperoleh bila pendidik mempunyai kewibawaan. Kewibawaan dan kepatuhan merupakan dua hal komplementer untuk menjamin adanya disiplin.”[69]

Tetapi perlu dicatat sebagai bagian dari kehati-hatian bagi guru bahwa untuk siswa sekolah menengah yang memasuki masa remaja yang merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini terdapat ciri-ciri tertentu yang perlu diantisipasi oleh guru agar apa yang diinginkannya tidak malah justru menjadi bumerang sebab anak seusia remaja cenderung akan sulit dikendalikan atau diatur. Sebagaimana dikemukakan oleh Elizabeth B. Hurlock bahwa :

”Pada umumnya remaja muda suka mengeluh tentang sekolah dan tentang larangan-larangan, pekerjaan rumah, kursus-kursus wajib, makanan di kantin, dan cara pengelolaan sekolah. Mereka bersikap kritis terhadap guru-guru dan cara guru mengajar.”[70]

Salah satu penelitian penilaian siswa terhadap guru dengan responden sebanyak 3.725 orang siswa SLTA yang dihadapkan pada 43 macam kriteria yang termasuk Liking Teacher A Best, dan 30 kriteria yang termasuk Liking Teacher Z Least. Empat macam kriteria yang paling banyak disebut dalam tiap katagori, yaitu :

1. Kriteria Liking Teacher A Best.

a. Suka sekali memberi pertolongan dalam pekerjaan sekolah; menerangkan pekerjaan sekolah dan tugas-tugas dengan dan mempergunakan contoh-contoh waktu mengajar. (51%)

b. Riang, bahagia, ramah, gembira, memiliki sense of humor dan dapat tahan lelucon. (40%)

c. Berperikemanusiaan, akrab, dapat bergaul, one of us. (30%)

d. Menaruh perhatian terhadap para siswa dan mempunyai pengertian tentang mereka. (26%)

2. Kriteria Liking Teacher Z Least.

a. Pemarah, suka menggerutu, tidak pernah tersenyum, pengecam, suka menyindir, ringan tangan. (50%)

b. Tidak suka memberi pertolongan dan soal pekerjaan sekolah; tidak menerangkan pelajaran dan pekerjaan rumah; tidak jelas, bekerja tanpa persiapan. (30%)

c. Berat sebelah, mempunyai anak emas, memberi giliran hanya kepada orang-orang tertentu saja. (20%)

d. Otoriter, tidak akrab, angkuh, congkak, overacting, tidak mengenal siswanya. (20%)[71]

Dalam hubungannya dengan kenyataan di atas, selain guru harus menguasai persoalan didaktik dan metodik serta berkepribadian yang baik, guru selayaknya menguasai pula persoalan-persoalan psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan adalah suatu studi tentang proses-proses yang terjadi dalam pendidikan serta untuk menjadi orang yang terdidik dan untuk memahami serta memberikan petunjuk-petunjuk yang bijaksana kepada proses-proses pendidikan.[72] Dengan kuatnya pemahaman tentang psikologi pendidikan, guru akan mampu menyesuaikan proses pengajaran yang dilakukan dengan kondisi psikologis siswa dengan tidak mengabaikan prinsif-prinsif pengajaran.

Aspek-aspek pengajaran itu sendiri digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) kemampuan membuat rencana pengajaran, (2) melaksanakan pengajaran, dan (3) kemampuan dalam melaksanakan hubungan antar manusia.[73]

Eggen menggunakan istilah fase-fase bagi tahapan-tahapan pengajaran, yaitu (1) fase perencanaan, (2) fase empelementasi, dan (3) fase evaluasi.[74]

Conners seperti dikutip J. Hasibuan melihat kegiatan pengajaran dari sisi tugas guru. Conners mengidentifikasi tugas mengajar guru menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap sebelum mengajar, (2) tahap pengajaran, dan (3) tahap sesudah mengajar.[75]

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan guru dalam pengajaran pada intinya terdiri atas perencanaan pengajaran, proses pengajaran, dan kegiatan evaluasi. Ketiga kegitan tersebut identik dengan tiga tugas utama guru dalam melaksanakan pengajaran yang tertuang pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Repiublik Indonesia, No, 025/O/1995 tentang Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kredit. Tetapi ditambah dua kegiatan lain, sehingga menjadi lima kegiatan, yaitu :

1. Menyusun Program Pengajaran

2. Menyajikan Program Pengajaran

3. Evaluasi belajar

4. Analisis Hasil Evaluasi Belajar

5. Menyusun Program Perbaikan dan Pengayaan

Kelima tahap kegiatan guru sebagaimana disebutkan diatas merupakan bagian dari kompetensi profesi guru yang erat kaitannya dengan proses pengajaran.[76]

Kegiatan guru dari setiap tahap kegiatan pengajaran yang dilakukan guru meliputi :

1 Menyusun Program Pengajaran

a Menetapkan tujuan pengajaran

b Memilih dan mengembangkan bahan pengajaran

c Memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar

d Memilih dan memanfaatkan sumber belajar

2 Menyajikan Program Pengajaran

a Menciptakan ilkim belajar mengajar yang tepat

b Mengatur ruang belajar

c Mengelola interaksi belajar mengajar

3 Evaluasi belajar

a Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran

b Menilai proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan

4 Analisis Hasil Evaluasi Belajar

a Menentukan ketuntasan belajar secara perorangan dan klasikal

b Menentukan tingkat kesukaran butir soal

5 Menyusun Program Perbaikan dan Pengayaan

a Menyusun program perbaikan

b Menyusun program pengayaan

Kegiatan-kegiatan di atas merupakan kegiatan yang harus dilakukan guru dalam pengajaran. Indikator-indikator inilah yang diteliti berkenaan dengan sikap guru terhadap pengajaran.

2. Persepsi Guru terhadap Kepemimpinan Kepala Sekolah

Persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan maupun lewat penciuman. Aspek perasaan dan penghayatan disini dirasa kurang tepat sebagai alat penerima informasi dari lingkungan, tetapi perasaan dan penghayatan merupakan kelanjutan dari proses informasi yang diterima melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman ataupun alat perasa. Penginderaan merupakan aspek awal dalam menerima informasi yang kemudian dipersepsikan pada berbagai indera seperti mencium, mendengar, melihat, meraba sesuatu objek, peristiwa, ide atau kegiatan.

Gambaran di atas sejalan dengan pendapat Stephen P. Robins tentang persepsi. Ia menyatakan bahwa : “Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.”[77]

Pendapat lain dikemukakan oleh H. Muh. Said dan Junimar Affan yang menyatakan bahwa : “Persepsi adalah proses yang membeda-bedakan rangsang yang masuk untuk selanjutnya diberikan maknanya dengan bantuan beberapa faktor.”[78]

Lebih luas lagi tentang pengertian persepsi sebagaimana dipaparkan oleh Filley. Menurut Filley ada tiga komponen utama dari proses persepsi. Ketiga komponen itu sebagai berikut :

a Seleksi

Seleksi merupakan proses psikologis yang sangat erat dengan pengamatan atau stimulus yang diterima dari luar. Rangsangan (stimulus) dari luar yang mencapai indera kita terbatas, baik mengenai jenis, maupun mengenai intensitasnya. Namun sebagian kecil stimulus yang mencapai kesadaran kita, karena adanya proses penyaringan, disamping faktor intensitas perhatian yang diberikan.

b Interpretasi

Interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang, Interpretasi tergantung kepada berbagai faktor, seperti pengalaman, sistem nilai, motivasi, kepribadian dan kecerdasan.

c Reaksi

Interpretasi dari persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku.[79]

Informasi yang diterima individu mengenai objek, peristiwa, kegiatan atau ide, kemudian diorganisikan dan dinterprestasikan sehingga melahirkan pendapat atau pandangan. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menginterprestasikan informasi yang diterimanya tentang objek, peristiwa, ide atau kegiatan tertentu, diantaranya pengalaman, motivasi, kecerdasan dan intensitas perhatian yang diberikan.

Informasi-informasi tentang suatu objek, peristiwa atau kegiatan dapat diterima melalui proses pengamatan, pendengaran, perabaan maupun melalui penciuman. Informasi yang diterima diseleksi oleh individu sesuai dengan kepentingan utama masing-masing, dan dipahami menurut kebiasaan masing-masing individu. Gambaran realita yang dihasilkan merupakan pandangan realita individu yang dikonstruksi menurut gambaran masing-masing. Stephen P Robins mengatakan bahwa bila seseorang memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, maka penafsirannya itu akan sarat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi orang itu.[80]

Kenyataan di atas berlaku juga bagi guru-guru dalam menerima informasi tentang kepemimpinan kepala sekolah. Informasi tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk pendapat atau pandangan. Pendapat atau pandangan tersebut merupakan konstruksi dari masing-masing guru. Inilah yang merupakan realita kepemimpinan kepala sekolah menurut guru-guru.

Persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah terbentuk karena adanya informasi-informasi yang diterima oleh guru-guru tentang kepemimpinan kepala sekolah. Informasi tersebut dapat kontak langsung dengan kepala sekolah, dan dapat pula diterima dari guru-guru lain, karyawan tata usaha, dan orang lain.

Tugas kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah adalah memahami kultur sekolah sebagai dasar dalam usaha meningkatkan kondisi-kondisi di sekolah, sehingga tercipta perwujudan dan kegiatan belajar-mengajar yang bermutu tinggi. Kultur sekolah mencakup hal-hal sebagai berikut :

1) Persepsi guru dan staf sekolah lainnya tentang ciri atau karakteristik dan kualitas di sekolah;

2) Pola kerja yang mencakup perilaku dalam beroganisasi di sekolah, seperti motivasi, komunikasi, kepemimpinan, penentuan tujuan, evaluasi dan pengawasan;

3) Persepsi guru dan staf lainnya yang mempengaruhi kinerja mereka;

4) Kinerja guru yang mempengaruhi kinerja mereka.[81]

Sekolah yang sehat memiliki kultur organisasi sekolah yang baik. Sekolah dikatakan sehat bila terdapat dorongan dan semangat yang tinggi. Moral kerja yang tinggi jika kepala sekolah, guru dan staf selalu bekerja dengan semangat yang tinggi, sangat antusias, bergairah, dan sebagainya. Selanjutnya sekolah sehat bila sekolah itu terhindar dari tekanan-tekanan berbagai pihak.

Stephen P. Robins menyatakan bahwa menilai organisasi dapat diketahui dari rentang tinggi-rendahnya tujuh karakteristik primer, yaitu :

1. Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil risiko.

2. Perhatian ke rincian. Sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan prestasi (kecermatan), analisis, dn perhatian kepada rincian.

3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.

4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.

5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu.

6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai.

7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status qou sebagai kontras dari pertumbuhan.[82]

Dengan mengembangkan kultur sekolah, diharapkan dapat ditingkatkan budaya kerja di sekolah yang mencakup : (1) peningkatan perilaku kepala sekolah; (2) peningkatan kinerja dan kemampuan guru dalam proses pengajaran dan kerjasama dengan guru lain; dan (3) peningkatan staf dalam mengubah kinerja mereka.[83]

Kepemimpinan sebagai istilah umum dapat dirumuskan sebagai proses dengan sengaja mempengaruhi orang lain dalam merealisasikan tujuan. Nawawi melihat kepemimpinan sebagai proses mengarahkan, membimbing, mempengaruhi atau mengawasi pikiran, perasaan atau tindakan.[84]

Edwin A. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai :

… proses membujuk (inducting) orang-orang lain untuk mengambil langkah-langkah menuju suatu sasaran bersama. Definisi ini mengkatagorikan tiga elemen :

1. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept).

2. Kepemimpinan merupakan suatu proses.

3. Kepemimpinan harus membujuk orang-orang lain untuk mengambil tindakan.[85]

Dengan demikian terlihat bahwa kepemimpinan merupakan suatu aktivitas, suatu seni membujuk, mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Aktivitas yang dilakukan pimpinan meliputi kegiatan mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mengawasi pikiran, perasaan, tindakan atau tingkah laku orang lain.

Dalam konteks sekolah K. Laws, (et al) menjelaskan kepemimpinan sebagai berikut :

“Leadership, in the context of a school, help bring meaning and asense of purpose to the relationship between the leader, the staff, the students, the parents and the wider school community. Leadership is not only a matter of what a leader does, but how a leader makes people feel about themselves in the work situation and about the organisation itself.”[86]

Kepemimpinan dalam kontek sekolah lebih menekankan pada terjadinya hubungan antara personil sekolah serta menciptakan iklim kebersamaan dan saling memiliki yang ditandai dengan rasa kebersamaan dalam bekerja. Dalam kondisi seperti itu akan tercipta hubungan yang harmonis diantara seluruh personil sekolah ( Kepala Sekolah, Guru, Staf Tata Usaha, Siswa, dll.).

Keberhasilan pimpinan menggerakkan bawahan sangat tergantung kepada kemampuannya mempengaruhi bawahannya agar mau berkerja dengan baik. Kepemimpinan merupakan faktor penentu yang paling dominan dalam usaha organisasi untuk mencapai tujuan dan berbagai sasarannya. Sedangkan Richard Beckhard mengemukakan ada dua prinsif kepemimpinan. “Prinsip pertama adalah adanya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. … Prinsip kedua adalah bahwa pemimpin yang efektif menyadari dan mengelola secara sadar dinamika hubungan antara pemimpin dan pengikutnya.” [87]

Lebih jauh Idochi mengemukakan bahwa :

… kemampuan seorang pemimpin dalam menggunakan kewenangannya untuk menggerakkan organisasi melalui keputusan yang dibuatnya. Pengertian yang lebih populer menunjuk pada pola keharmonisan interaksi antara pemimpin diimplementasikan dalam bentuk pembimbingan dan pengarahan terhadap bawahan. Pola interaksi biasanya diawali dengan upaya mempengaruhi bawahan agar mereka mau digerakkan sesuai dengan tujuan organisasi.[88]

Kepala sekolah selaku pimpinan merupakan aspek penentu bagi pengembangan dan peningkatan sekolah. Salah satu indikator keberhasilan sekolah adalah bila sekolah dapat berfungsi dengan baik, terutama bila prestasi belajar siswa dapat mencapai hasil yang memuaskan.

Berdasarkan satuan pendidikan, kepala sekolah menduduki dua jabatan penting untuk dapat menjamin kelangsungan proses pendidikan sebagaimana yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan. Pertama, kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan. Kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan disekolahnya.

Sebagai pengelola pendidikan, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pendidikan dengan cara melaksanakan administrasi sekolah dengan seluruh substansinya. Disamping itu, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap kualitas sumberdaya manusia yang ada agar mereka mampu menjalankan tugas-tugas pendidikan. Oleh karena itu, kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja para personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional para guru.

Proses pengelolaan sekolah mencakup empat tahap, yaitu Planing (perencanaan); Organizing (mengorganisasikan); Actuating (pengerahan); dan Controling (pengawasan).

Planing (perencanaan), menurut Louis E Boone dan David L. Kurtz “ … as the proicess by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective.”[89] Definisi Planing (perencanaan) ini mengandung pengertian bahwa proses perencanaan mencakup penentuan tujuan yang sesuai serta bagaimana pencapaian tujuan tersebut.Tahapan perencanaannya meliputi tiga tahap, yaitu “(1) setting organizational objective, (2) Developing planning premises, (3) Developing methods to control the operation of the plan”[90] Menurut C Turney dan D. Smith dalam tulisannya yang berjudul Planning Role menyatakan bahwa dalam melaksanakan perencanaan, kepala sekolah harus melaksanakan hal-hal sebagai berikut yakni :

1. Visioining and formulating school mission

2. Making policy and setting goal

3. Designing porogrammes

4. Determining and allocating of resources

5. Modifying policy and plan [91]

Proses penyusunan perencanaan hendaknya dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditentukan sehingga diharapkan akan tercipta suatu perencanaan yang baik dengan mengarah pada proses pelaksanaan dan tujuan yang telah ditetapkan.

Organizing (mengorganisasikan), Menurut George R. Terry, pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, hingga mereka dapat bekerja sama secara efisien dengan demikian akan memperoleh kepuasan pribadi dalam hal melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu”[92]

Sedangkan menurut Louis E. Boone pengorganisasian “……as the act of planning and implementing organization structure. It is the process of arranging people and physical resources to carry out plans and accopmplish organizational objective”[93].

Pengertian pengorganisasian seperti dijelaskan di atas mengandung pengertian bahwa pengorganisasian merupakan penentuan tentang siapa pihak-pihak yang akan diberi tugas untuk melaksanakan rencana yang sudah disusun serta bagaimana mekanismenya. Sementara itu C. Turney merinci tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam proses pengorganisasian, yaitu :

1. Developing and modifying organizational structure

2. Orienting participant and establishing high expectations

3. Assigning task and, where approriate in delegating authority

4. Coordinating and sustaining contribution[94]

Tahapan proses pengorganisasian sebagai mana dikemukakan oleh C. Turney pada prinsifnya adalah tahapan ideal dengan mengawalinya melalui pembuatan dan pemodifikasian struktur organisasi; mengajak seluruh komponen dalam organisasi untuk menyadari tentang misi organisasi; memberikan tugas pada orang yang mampu; dan melakukan koordinasi antar bidang yang dapat memberikan kontribusi pada organisasi.

Actuating (pengerahan), menurut G.R Terry, actuating merupakan usaha menggerakan anggota-anggota kelompok demikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan yang bersangkutan dan sasaran-sasaran anggota-anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota itu ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.[95] Definisi di atas menunjukkan bahwa pengerahan atau pelaksanaan merupakan fungsi manajemen yang sangat penting sebab dengan fungsi ini program perencanaan dilaksanakan. Walaupun demikian diperlukan pembinaan dan pemberian motivasi agar seluruh komponen dalam organisasi dapat menjadikan proses pencapaian tujuan organisasi sebagai suatu bagian integral dalam pencapaian tujuan masing-masing, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan lancar dengan menghindari terjadinya konflik yang dapat mengacaukan tujuan organisasi.

Controling (pengawasan), menurut C. Turney adalah “…….the activities used by manager to ensure that activities of an organization are consistent with plan and organizational objectives are achieved.”[96] Ini mengandung pengertian bahwa pengawasan merupakan langkah pengendalian agar pelaksanaan dapat sesuai dengan apa yang direncanakan serta untuk memastikan apakah tujuan organisasi tercapai, karena rencana merupakan patokan atau kriteria penting agar pengawasan dapat terlaksana dengan efektif. Langkah-langkah dalam proses pengawasan adalah :

1. Establishing standard of performance

2. Influencing the performance of Staff

3. Monitoring and evaluating progress

4. Initiating correrctive action where performance below standard [97]

Untuk membandingkan antara hasil aktual dengan rencana diperlukan suatu standar tertentu hal itu agar pengawasan dapat dilakukan secara obyektif, sehingga dapat diketahui apakah suatu hasil menunjukan kemajuan atau tidak, disamping itu pengawasan juga perlu dibarengi oleh tindakan koreksi jika dipandang perlu dan apabila terjadi penyimpangan yang akan berdampak pada terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi.

Dinas Pendidikan Nasional dalam buku “Panduan Manajemen Sekolah” menjelaskah bahwa dalam me-manage sekolah harus pula mampu melakukan pengaturan-pengaturan berbagai bidang atau unsur yang ada disekolah, yaitu : Manajemen Kurikulum; Manajemen Personalia; Manajemen Kesiswaan; Manajemen Keuangan; Manajemen Sarana dan Prasarana; Manajemen Laboratorium; Manajemen Perpustakaan, Manajemen Bimbingan dan Konseling; Manajemen Mutu Terpadu; Manajemen Peningkatan Mutu; Manajemen Konflik; Manajemen Komunikasi; Manajemen Waktu; Dengan demikian maka tugas dan fungsi seluruh personil sekolah dapat selain dapat terkendali dan terkontrol, juga dapat tepat arah dan tujuan, sebab sudah jelas apa, bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab.

Sebagai pemimpin formal, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya menggerakkan bawahan ke arah pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini kepala sekolah bertugas melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, baik fungsi yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun penciptaan iklim sekolah yang kondusif bagi terlaksananya proses belajar mengajar secara efektif dan efesien.

Fungsi kepemimpinan pendidikan menunjuk kepada berbagai aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah dalam upaya menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan anggota masyarakat lain agar mau berbuat sesuatu guna mensukseskan program-program pendidikan di sekolah. Untuk memungkinkan tercapainya tujuan kepemimpinan pendidikan di sekolah, pada pokoknya kepala sekolah melakukan fungsi sebagai EMASLIM, yaitu Educator (pendidik), Manager, Administrator, Supervisor, Leader (pemimpin), inovator (pencipta), dan Motivator.[98] Ketujuh tugas dan fungsi kepala sekolah tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak boleh dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Bahkan lebih dari pada itu, menurut Prof. Dr. HM Idochi Anwar, M.Pd bukan saja seorang kepala sekolah, tapi bagi seluruh manager/pemimpin harus mampu menguasai, memahami dan melaksanakan delapan dimensi administrasi/manajemen pendidikan yaitu :

1. Social and cultural dimension

2. Effective learning process dimension

3. Economic and finance dimension

4. Organizational behaviour dimension

5. Law and Profession dimension

6. Empowering and developement of human resources dimension

7. Political dimension

8. Information tecnology dimension[99]

Kedelapan dimensi tersebut menunjukkan bahwa masalah manajemen pendidikan mempunyai cakupan yang luas dari mulai aspek sosial budaya, aspek pembelajaran, prilaku organisasi, ekonomi, hukum, pengembangan SDM, politik sampai dengan aspek teknologi informasi. Ini berarti bahwa manajemen pendidikan tidak bisa dilihat hanya dari aspek teknis yang sempit, melainkan harus juga memperhatikan dinamika masyarakat yang terus mengalami perubahan dengan cepat.

Oleh karena itu, terdapat seperangkat syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kepala sekolah agar proses kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik. Depdiknas. mengemukakan gambarannya sebagai berikut :

1. Kepribadian

Bahwa kepala sekolah harus dapat memiliki sifat-sifat pribadi terpuji, antara lain ramah, periang, bersemangat, berani, murah hati, spontan, percaya diri, memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

2. Pemahaman dan penguasaan terhadap tujuan-tujuan pendidikan

Kepala sekolah harus dapat memikirkan, merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, dan menginformasikannya kepada staf sekolah agar mereka sepenuhnya memahami tujuan yang ingin dicapai bersama.

3. Pengetahuan

Kepala sekolah harus memiliki wawasan pengetahuan yang lebih luas dibidangnya, maupun dibidang-bidang lain yang relevan.[100]

Selain itu kepala sekolah harus mampu mengembangkan pokok-pokok pikiran tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara dengan tiga prinsif fungsional kepemimpinan, yaitu :

1. Ing ngarso sung tulodo, yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu menjadikan dirinya sebagai panutan.

2. Ing madya mangun karso, yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi .

3. Tut wuri handayani, yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang dipimpinnya.

Ketiga prinsif fungsional kepemimpinan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Ia harus memiliki nilai-nilai keteladanan, memiliki kemampuan sebagai pembangkit semangat kerja bawahan, dan memiliki jiwa motivator sebagai motor pendorong yang kuat.

Lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Dadi Permadi dalam buku “Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Mandiri Kepala Sekolah”mengemukan dimensi-dimensi kepemimpinan yang mengarah ke dimensi kepemimpinan yang mandiri sebagaimana tercantum pada bagai di bawah ini.

DIMENSI-DIMENSI KEPEMIMPINAN

Petter ang Austin

Joe D. Batten

Keit and Girling

Dadi Permadi

Exelence in School Leadership

Tough-Minded Leadership

Participative Leadership

Dimensi Kepemimpin an Mandiri Kepala sekolah

1. Vision and sym-bols.

(Visi dan sombol -simbol)

2. Management by walking about.

(Manajemen de-ngan mengguna-kan praktek)

3. For the kids.

(Berfokus pada anak/siswa)

4. Autonomy, expe-rimentation, and support for failu-re.

Otonomi, perco-baan, dan mem-perbaiki kesalahan)

5. Crate of sense of family.

(Menciptakan ra-sa kekeluargaan)

6. Sense of whole rhythm, passion, intensity, and enthusiasm.

(Rasa kesatuan ritme kuat, pera-saan, intensitas, dan antusian)

1. Vision and strate-gy fueled by a tough, growing mind.

(Visi dan strategi yang didasari ke-tegaran dan pikir-an yang berkem-bang)

2. Commitment.

(Tanggung jawab)

3. Optimal serve trough optimum development of people.

(Pelayanan opti-mal melalui peng-embangan orang yang optimal)

4. Ethical behavior.

(Perilaku yang etis)

5. Hard and dedicate work.

(Dedikasi dan ker-ja keras)

6. Build on strengs.

(Membangun ke-kuatan)

7. Clear. (Jelas)

8. Intuitive, sensing management.

(Intuisi, manaje-men dengan pera-saan)

9. Expectations.

(Harapan-harapan)

10. Perpormance is all the matters.

(Penampilan da-lam berbagai hal)

11. Flexibility.

(Pleksibel)

1. Creative vision.

(Visi yang kreatif)

2. Build trust and or-anizational com-itent.

(Membangun ke-percayaan dan tanggung jawab)

3. Projects expertise.

(Mengembangkan keakhlian)

4. Developing the organization team.

(Mengembangkan organisasi)

1. Visi yang utuh.

2. Membangun kepercayaan dan tanggung jawab, pengambilan keputusan dan ko-munikasi (Hu-bungan sekolah dengan masyara-kat).

3. Pelayanan terbaik.

4. Mengembangkan orang.

5. Membina rasa per-satuan dan keke-luargaan.

6. Fokus pada siswa.

7. Manajemen yang memperhatikan praktek.

8. Penyessuaian gaya kepemimpinan.

9. Pemanfaatan ke-kuasaan.

10. Keteladanan, eks-tra inisiatif, jujur, berani, dan tawa-kal.

Bogdan sebagaimana dikutif oleh Dirawat, Dkk. dalam buku Idochi mengemukakan empat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan, yaitu:

1. Kemampuan mengorganisasikan dan membantu staff di dalam merumuskan perbaikan pengajaran di sekolah dalam bentuk program yang lengkap.

2. Kemampuan untuk membangkitkan dan memupuk kepercayaan pada diri sendiri dari guru-guru dan anggota staff sekolah lainnya.

3. Kemampuan untuk membina dan memupuk kerjasama dalam mengajukan dan melaksanakan program-program supervisi.

4. Kemampuan untuk mendorong dan membimbing guru-guru serta segenap staf sekolah lainnya agar mereka dengan penuh kerelaan dan tanggung jawab berpartisipasi secara aktif pada setiap usaha-usaha sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan sekolah itu sebaik-baiknya.[101]

Praktek kepemimpinan kepala sekolah yang dijiwai dengan kriteria-kriteria sebagai mana disebutkan di atas, akan dapat membentuk persepsi guru yang positif terhadap kepemimpinan kepala sekolah. Bila persepsi guru positif terhadap kepemimpinan kepala sekolah, mereka akan cenderung mengikuti aturan-aturan yang berlaku disekolah dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, kepala sekolah harus mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Dalam hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan, empat fungsi kepala sekolah yang menjadi bahan pertimbangan untuk diteliti, yaitu kepemimpinan kepala sekolah dalam mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mengawasi guru-guru.

Tentang keempat aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Kegiatan kepala sekolah dalam mengarahkan guru-guru

Kegiatan “mengarahkan atau pengarahan” merupakan satu kegiatan yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seorang pemimpin, termasuk kepala sekolah. “Pengarahan”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu pemberian petunjuk atau pedoman untuk pelaksanaan suatu kegiatann.[102] Pengarahan diberikan sebelum tugas yang diberikan dilaksanakan oleh bawahan.

Dalam kegiatan “mengarahkan atau pengarahan” dapat terjadi komunikasi tiga arah, yaitu antara pimpinan dengan bawahan dan bawahan dengan bawahan. Tidak akan ada satu kelompok pun yang dapat eksis tanpa adanya komunikasi. Melalui komunikasi terjadi pentransferan makna diantara anggota-anggotanya. Hanya melalui pentrnsferanlah makna dari satu orang ke orang lain informasi dan gagasan dapat disampaikan.

Tetapi komunikasi tidak hanya sebagai menanamkan makna, juga harus dapat dipahami. Maksudnya, apa yang disampaikan dapat menjadi gambaran mental yang dipersepsikan penerima, persis sama dengan yang dibayangkan oleh pengirim informasi.[103]

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas yang harus dilakukan, guru memerlukan pengarahan-pengarahan dari kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah, harus mampu mengarahkan guru-guru secara tepat dan konsisten sehingga guru-guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan terarah. Salah satu ciri sekolah yang efektif menurut C. Turney (et. al.) yaitu : “ Purposeful leadership of the staff by the principal (particularly in curriculum development and evaluation).”[104]

Adanya arahan-arahan yang diberikan oleh kepala sekolah terhadap guru akan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku guru dalam melaksakan tugasnya. Semakin baik arahan yang diberikan, serta konsisten apa yang diarahkan oleh kepala sekolah, maka kemungkinan semakin baik pula persepsi guru terhadap kepala sekolah dalam pemberian arahannya kepada guru-guru. Guru-guru dapat mengetahui dengan jelas apa yang harus dilaksanakannya dengan tanpa keragu-raguan. Sebaliknya, bila pengarahan kepala sekolah kepada guru-guru kurang tepat dan selalu berubah-ubah, maka kemungkinan guru-guru akan kesulitan dalam memahami apa yang harus dilakukan. Keadaan seperti ini mungkin sekali dapat mempengaruhi persepsi guru terhadap kepala sekolah.

2. Kegiatan kepala sekolah dalam membimbing guru-guru

Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai pengajar guru-guru tidak luput dari masalah, baik masalah yang bersifat pribadi maupun masalah kedinasan. Guru-guru kadang-kadang membutuhkan bantuan dari orang lain dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

Kepala sekolah sebagai pimpinan di sekolah merupakan tempat bagi guru-guru menyampaikan masalah. Ada kepala sekolah yang bersedia memberikan bantuan pada guru-guru dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik masalah pribadi maupun masalah kedinasan ketika guru tersebut mengutarakannya. Ada pula kepala sekolah yang kurang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah yang dihadapi guru-guru, karena tidak mau tahu dan tidak mengerti, walaupun diutarakan kepadanya.

Sebagai supervisor, kepala sekolah harus mau dan mampu memberikan bantuan tidak saja kepada guru tapi juga kepada seluruh personil sekolah lainnya untuk mengembangkan situasi dan kondisi yang dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan.

Sesuai dengan prinsip-prinsip supervisi, bimbingan yang diberikan kepala sekolah kepada guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Suasana kemitraan tidak menimbulkan rasa takut tetapi rasa saling memerlukan, hubungan kolegial dan bersifat interaktif.

2. Harus bersifat praktis, dalam arti dapat dikerjakan (workable), sesuai situasi dan kondisi sekolah.

3. Sistematis artinya supervisi dikembangkan dengan perencanaan yang matang sesuai dengan sasaran yang diinginkan.

4. Obyektif artinya memberikan masukan sesuai dengan aspek yang terdapat dalam instrumen.

5. Realistis maksudnya didasarkan atas kenyataan yang sebenarnya yaitu pada keadaan atau hal-hal yang sudah dipahami dan dilakukan oleh para staf sekolah.

6. Beraifat bantuan, bukan instruksi dengan tujuan peningkatan kemampuan mengajar dan pembentukan sikap profesional.

7. Kreatif artinya mengembangkan inisiatif dan kreativitas guru dalam proses belajar mengajar.

8. Antisipatif maksudnya diarahkan untuk menghadapi kesulitan yang mungkin terjadi.

9. Konstruktif artinya memberikan saran-saran perbaikan kepada yang disupervisi untuk teruss berkembang sesuai ketentuan atau aturan yang berlaku.

10. Kooperatif artinya supervisi mengambangkan perasaan kebersamaan untuk menciptakan dan mengembangkan situasi belajar mengajar.[105]

Dalam melakukan bimbingan, seorang kepala sekolah dapat melakukannya secara individual atau secara kelompok. Waktu bimbingan dapat dilakukan pada setiap kesempatan, baik secara formal maupun non formal.

Bimbingan-bimbingan yang diberikan secara baik oleh kepala sekolah kepada guru-guru dalam bertugas dan dalam menangani masalah-masalah yang dihadapinya akan dapat membentuk persepsi guru yang positif terhadap bimbingan yang diberikan oleh kepala sekolah. Persepsi positif terhadap bimbingan yang diberikan kepala sekolah dalam bertugas akan dapat mendorong guru-guru mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan demikian diharapkan guru-guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

3. Kegiatan kepala sekolah dalam memotivasi guru-guru

Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme-baik manusia ataupun hewan-yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah.[106]

Stephen P. Robbines mendefinisikan motivasi : “sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual.”[107]

Muhibbin Syah selanjutnya menyatakan bahwa motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu motivasi instrinsik ( dorongan dari dalam) dan motivasi ekstrinsik (dorongan dari luar).[108]

Dalam melaksanakan tugas mengajar, guru-guru didorong oleh motif-motif tertentu, baik dorongan yang timbul dari dalam dirinya (motivasi instrisik) maupun dorongan dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik). Motif guru dalam bekerja kadang-kadang kuat kadang lemah, karena itu guru-guru memerlukan rangsangan dari luar agar termotivasi dalam bekerja.

Kepala sekolah selaku pimpinan harus memiliki kemampuan memotivasi guru-guru agar mereka mau bekerja dengan baik. Sebagai motivator, merupakan bagian dari beberapa kriteria seorang pemimpin yang efektif sebagaimana dijelaskan oleh C. Turney (et. al.), sebagai berikut :

An effektive manager is one who utilises team menegement while displaying high concern for both the task of the organisation and the people who are involved with it. Such as manager is good motivator, sets high standards and recognises individual differences.[109]

Motivasi dapat diberikan oleh kepala sekolah dengan jalan menyediakan berbagai kondisi yang dapat merangsang guru-guru bekerja lebih baik, seperti perlakuan yang adil dan bijaksana, pemberian penghargaan, intensif, menyediakan kebutuhan-kebutuhan dalam bertugas. Ada kepala sekolah yang mampu memotivasi guru-guru sehingga mereka mau bekerja dengan baik. Sebaliknya ada kepala sekolah yang kurang mampu memotivasi guru-guru dalam bertugas, sehingga guru-guru kurang terangsang untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.

Persepsi guru tentang kemampuan kepala sekolah dalam memotivasi guru-guru dapat mempengaruhi pandangan dari guru-guru terhadap kepala sekolah. Bila persepsi guru positif terhadap cara-cara kepala sekolah memotivasi guru-guru, ada kemungkinan guru-guru akan bertugas dengan baik. Sebaliknya, bila persepsi guru-guru negatif terhadap kemampuan kepala sekolah dalam memotivasi guru-guru dalam bertugas, ini pun dapat membawa dampak negatif terhadap guru dalam bekerja.

4. Kegiatan Kepala Sekolah dalam Mengawasi Guru-guru

Pengawasan merupakan aspek penting dalam menjaga dan mendorong agar pelaksanaan suatu kegiatan dapat berjalan dengan baik. Pengawasan merupakan kegiatan mengukur tingkat efektifitas kerja personil dan tingkat efesiensi penggunaan metoda dan alat-alat tertentu dalam mencapai tujuan. Mengukur efektifitas maksudnya ialah menilai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan, apakah telah menghasilkan sesuatu seperti direncanakan, atau sekurang-kurangnya apakah pekerjaan itu telah berjalan menurut semestinya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Mengukur efesiensi merupakan penilaian kegiatan yang dilaksanakan apakah merupakan cara-cara yang tepat atau terbaik untuk mencapai hasil tertentu dengan resiko yang sekecil-kecilnya. Dengan kata lain, apakah cara yang ditempuh itu mampu memberikan hasil yang optimal dengan resiko yang sekecil mungkin.

Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna (efesien) dan berhasil guna (efektif) sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, pengawasan dapat meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pengajaran yang baik.

Pengertian lain dari pengawasan adalah supervisi. Dalam pelaksanaan supevisi di sekolah yang populer adalah supervisi klinis. Baik pengawasan, supervisi atau lebih khusus supervisi klinis memiliki tujuan yang sama, yaitu efektifitas dan efesiensi dalam pencapaian tujuan yang diharapkan. Dalam “Panduan Manajemen Sekolah” dikemukakan sedikitnya ada sebelas ciri utama supervisi klinis, yaitu :

1) Suverpisi yang diberikan kepada guru berupa bantuan (bukan perintah), sehingga inisiatif terletak ditangan guru;

2) Aspek yang disuverpisi harus berdasarkan usul guru. Usul tersebut dikaji bersama kepala sekolah (sebagai supervisor) untuk dijadikan kesepakatan;

3) Instrumen dan metoda observasi dikembangkan bersama guru dan kepala sekolah;

4) Umpan balik diberikan segera setelah pengamatan selesai;

5) Mendiskusikan hasil analisis dan data hasil pengamatan dengan mendahulukan interpretasi guru;

6) Kegiatan suverpisi dilakukan secara tatap muka dan dalam suasana terbuka;

7) Kepala sekolah sebagai supervisor lebih banyak mendengarkan dan menjawab pertanyaan guru dari pada memberi pengarahan;

8) Kegiatan supervisi klinis paling tidak terdiri dari tiga tahap, yaitu pertemuan awal, pengamatan, pertemuan umpan balik; Pemberian penguatan terhadap perubahan perilaku yang positif sebagai hasil pembinaan.

9) Dilakukan secara berkelanjutan.[110]

Melalui supervisi klinis, pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan cara luwes, tidak kaku dan dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada dari guru-guru. Perlakuan yang baik dari kepala sekolah dalam melakukan pengawasan juga akan menimbulkan kesan yang baik pula dari guru-guru terhadap pengawasan kepala sekolah. Demikian pula sebaliknya, pengawasan yang kurang baik dari kepala sekolah terhadap guru, akan menimbulkan kesan dan persepsi guru yang kurang baik pula terhadap pengawasan kepala sekolah terhadap guru.

3. Persepsi guru terhadap lingkungan kerja

Lingkungan kerja merupakan tempat dan unsur dinamis yang ada disekitar seseorang bekerja. Lingkungan kerja bukan hanya menyangkut lingkungan fisik tempat bekerja, tetapi juga menyangkut unsur-unsur psikis yang terjadi dalam bekerja. Lingkungan sekolah yang baik akan mendukung guru-guru bekerja dengan baik. Begitu juga sebaliknya, bila lingkungan kerja sekolah kurang baik akan mengurangi semangat dan kegairahan guru-guru dalam bekerja.

Kondisi saling pengaruh mempengaruhi antar individu dengan lingkungan merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun. R.S. Woodworth mengatakan bahwa setiap orang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan psykologis, saling pengaruh antara pembawanaan (heredity) dan lingkungan (environmen) adalah suatu hukum umum yang berlaku bagi seluruh tingkah laku (perkembangan) setiap orang.[111]

Kartono membagi lingkungan kerja ke dalam dua kelompok, yaitu (1) kondisi-kondisi material, dan (2) kondisi-kondisi psikis.[112] Dalam batasan tersebut terlihat bahwa lingkungan kerja bukan hanya menyangkut lingkungan fisik tempat berkerja, juga mencakup aspek-aspek psikis yang berhubungan dengan tempat bekerja dan pekerjaan itu sendiri.

Reaksi terhadap lingkungan dapat ditolak atau diterima. Penolakan terjadi apabila kondisi lingkungan dianggap tidak sesuai atau membahayakan bagi individu. Tetapi walaupun kadang-kadang lingkungan itu merugikan, dan harus melawan atau menghindarkannya, dapat pula lingkungan itu mempunyai nilai positif.[113]

Kondisi tersebut di atas merupakan suatu aksi-reaksi yang wajar terjadi sebab sesuai dengan kodratnya, manusia itu memiliki “rasa atau perasaan”. Titus (et al) menjelaskan sebagai berikut :

“Manusia memiliki rasa: benar dan salah, serta rasa nilai ini berarti bahwa ia adalah makhluk beretika dan berhati nurani (conscience). Dengan mendasarkan atas apa yang ada, ia dapat mengatakan apa yang harus ada. Hati sanubarinya, rasa ‘harus’, keadaannya yang selamanya tidak mengenal diam merupakan harapan kemanusiaan. Kemajuan moral biasanya terjadi karena adanya sanubari yang merasa terganggu atau terdorong, atau karena adanya pribadi-pribadi yang kreatif.”[114]

Walaupun diakui oleh Elizabeth B. Hurlocck bahwa semua individu itu berbeda, dan terbukti bahwa perbedaan-perbedaan itu semakin bertambah. Oleh karena itu tidak diharapkan bahwa dua individu akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap rangsangan lingkungan yang sama. Siapapun tidak dapat mampu meramalkan secara tepat bagaimana orang akan bereaksi terhadap suatu situasi, sekalipun ada informasi yang luas tentang kemampuan-kemampuan mereka yang diturunkan, dan sekalipun diketahui bagaimana orang pada umumnya berperilaku dalam situasi yang sama. Juga orang tidak dapat mengharapkan hasil yang sama dari orang dengan perkembangan usia dan intelektual yang sama. Dan akhirnya, perbedaan individual justru berarti karena perbedaan ini diperlukan bagi individualitas dalam pembentukan kepribadian. Individualitas bukan hanya membuat orang menyenangkan, tatapi juga memungkinkan kemajuan sosial.[115] Keadaan yang membedakan antara individu yang satu dengan yang lain sebagaimana digambarkan diatas, sama sekali tidak menutup adanya persamaan-persamaan mendasar diantara individu.

Teori hirarki kebutuhan menganggap bahwa manusia termotivasi untuk memuaskan sekumpulan kebutuhan yang sama secara universal, teori model ini yang secara luas dikenal adalah teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow ia mengidentifikasi ada lima kategori kebutuhan yaitu :

1. Physiological needs : kebutuhan dasar untuk supaya manusia bisa hidup seperti makan dan minum.

2. Safety needs : kebutuhan individu atas perlindungan fisik dan psikologis serta perlindungan dari ancaman dan bahaya.

3. Social needs : kebutuhan untuk berhubungan dan penerimaan dari orang lain seperti persahabatan dan cinta.

4. Esteem needs : kebutuhan yang berhubungan penghormatan, ini mencakup dua bagian yakni self esteem dan esteem from other , yang pertama adalahkeinginan untuk berprestasi, keyakinan, dan kebebasan, sedang yang keedua menyangkut keinginan akan reputasi, prestise serta penghargaan.

5. Self-Actalization : kebutuhan untuk memenuhi potensi diri, untuk menguji batas-batas dirinya serta keinginan menjadi seseorang sesuai dengan yang dapat dilakukan.[116]

Apabila melihat kelima kebutuhan seperti tersebut di atas nampak bahwa kebutuhan yang pertama dan kedua dapat memperoleh pemenuhan melalui perilaku/aspek ekonomi, artinya jenis pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan seseorang serta besarnya pendapatan yang diperoleh akan sangat menentukan terhadap terpenuhi atau tidaknya kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sedangkan tiga yang terakhir terutama dapat terpenuhi melalui perilaku simbolik yang bermuatan aspek-aspek psikis dan sosial. Kebutuhan ini hanya akan terpenuhi dalam hubungannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga sangat dipengaruhi oleh pihak lain yang berinteraksi didalamnya.

Teori hirarki kebutuhan (hierarchy of needs) yang juga merupakan teori Maslow menyebutkan bahwa hirarki kebutuhan itu bertitik tolak dari tiga kebutuhan yang bersifat deduktif, yang merupakan tiga asumsi pokok, yaitu bahwa : (1) Manusia adalah makhluk yang selalu berkeinginan. Keinginan mereka selalu tidak pernah terpenuhi sepenuhnya; (2) Kebutuhan atau keinginan yang sudah terpenuhi tidak akan menjadi pendorong lagi; dan (3) kebutuhan manusis tersusun menurut hirarki tingkat pentingnya.

Berdasarkan tiga asumsi ini, manusia selalu dituntut oleh keinginan untuk memeni\uhi kebutuhannya tetapi sekali terpenuhi kebutuhan, ia tidak lagi menjadi faktor pendorong. Pegawai yang sudah mencapai tingkat jabatan tertentu, tidak lagi menganggap jabatan tersebut sebagai faktor pendorong, karena ia akan segera mengharapkan untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya. Pokoknya selalu ada pergeseran dari kebutuhan yang satu kekebutuhan yang lain.

Unsur-unsur kebutuhan manusia terdiri atas Biological needs, Safety needs, Belongingness needs, Esteem needs; dan Self-actualization needs.[117]

1. Biological needs, kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan makan, minum, seks, dll.

2. Safety needs, kebutuhan akan rasa aman. Pada tingkat ini seseorang yang telah mendapat penghasilan cukup, berkeinginan untuk mendapatkan rasa aman pada masa pensiun, ada asuransi kalau sakit, dll.

3. Belongingness needs, kebutuhan untuk diterima dan dihormati oleh orang lain. Pada tingkat ini, seseorang mulai berkeinginan untuk mendapatkan simbol status mereka, seperti kamar kerja sendiri, meja yang luas, ruang rapat dan ruang tamu sendiri, dan mungkin pula mobil dinas dan sopir khusus.

4. Esteem needs, kebutuhan untuk mempunyai citra baik. Seseorang mungkin telah cukup diakui dan dihargai, tetapi ia masih tidak puas, kerena hatinya sendiri tidak merasa damai dan tenteram. Sebabnya mungkin karena ia mendapatkan pengakuan dan penghormatan tersebut bukan melalui jalan yang baik, jalan yang jujur atau yang pantas dihormati oleh orang lain.

5. Self-actualization needs, kebutuhan untuk menunjukkan prestasi yang terbaik. Tingkat ini merupakan tingkat dorongan yang paling tinggi pada seseorang, karena ia ingin menujukkan tingkat potensinya yang maksimal, tanpa ia terlalu banyak menuntut imbalan dari organisasi.

Teori lain dikemukakan oleh Clayton Alderfer, yang disebut “the existence-relatedness-growt theory”.[118] Theori ini menyederhanakan teori Maslow yang 5 (lima) tingkat menjadi 3 (tiga) tingkat, yaitu : (1) Tingkat keadaan nyata (existence) mencakup kebutuhan biologis dan kebutuhan rasa aman; (2) Kesinambungan (relatedness) menggabungkan sebagian kebutuhan untuk diterima dan diakui; serta (3) Kebutuhan akan citra baik.

Baik teori Maslow maupun teori Clayton Alderfer pada prinsifnya mengakui bahwa pada diri manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan berpengaruh pada perilaku individu tersebut. Demikian pula pada tingkat persekolahan, guru-guru sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan akan pula perilakunya dipengaruhi oleh tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Dalam hal ini hal-hal yang sifatnya universal dapat berpengaruh secara universal pula. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa semakin berhasil seseorang melaksanakan tugas, maka semakin besar kepuasan yang ditimbulkan.

Tentang kepuasan kerja, setidaknya ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhinya, yaitu (1) kerja yang secara mental menantang; (2) ganjaran yang pantas; (3) kondisi kerja yang mendukung; (4) rekan sekerja yang mendukung; dan (5) jangan lupakan kesesuaian kepribadian-pekerjaan[119]

1. Kerja yang secara mental menantang

Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.

2. Ganjaran yang pantas

Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak kembar arti, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang menautkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting adalah persepsi keadilan.

3. Kondisi kerja yang mendukung

Karyawan peduli akan lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur, cahaya, derau, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrem, misalnya terlalu panas atau terlalu remang-remang. Disamping itu, kebanyakan karyawan lebih menyukai bekerja dekat dengan rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern dan dengan alat-alat yang memadai.

4. Rekan sekerja yang mendukung

Orang-orang mendapatkan lebih dari hanya sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar kekepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan juga merupakan determinasi utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila penyelia langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukan suatu minat pribadi pada mereka.

5. Jangan lupakan kesesuaian kepribadian-pekerjaan

Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan okupasi akan mengasilkan seorang individu akan menghasilkan seorang individu yang terpuaskan. Hakikat logikanya adalah bahwa orang-orang yang tipe krpribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharunya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk mememuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan-pekerjaan tersebut.[120]

Nampaknya kondisi sebagaimana digambarkan diatas berlaku pula untuk lingkungan sekolah yang didalamnya terdapat komponen-komponen dan unsur-unsur penggerak untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, Sekolah sebagai lingkungan kerja guru-guru akan dapat mewarnai sikap dan perilaku guru dalam bertugas, karena guru-guru dalam bertugas selalu berinteraksi dengan lingkungan ditempat mana ia bertugas. Bahkan Dinas Pendidikan dalam hubungannya dengan pengembangan SMU Plus yang erat kaitannya dengan peningkatan gairah guru dalam melaksanakan tugas, setiap sekolah harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai, antara lain :

a. Ruang belajar yang memadai

b. Laboratorium Fisika, Kimia, Biologi, dan Bahasa, serta ruang komputer yang lengkap dengan seluruh peralatannya.

c. Perpustakaan yang memiliki minimal 5000 judul dengan ruang yang cukup memadai untuk belajar sendiri maupun belajar kelompok/diskusi.

d. Ruang atau lapangan olahraga yang dapat meningkatkan kebugaran jasmani dan prestasi.

e. Media belajar yang cukup lengkap.

f. Ruang kesenian dan perangkat alat-alat kesenian.

g. Asrama siswa dan perumahan guru/pegawai.

h. Sarana belajar dan lingkungan memadai.

i. Buku pelajaran (paket), I siswa 1 buku

j. Satu kelas maksimum 40 siswa.

k. Setiap kelas dilengkapi dengan OHP media pendidikan yang harus digunakan dalam setiap kegiatan belajar mengajar.[121]

Selain persoalan sarana dan prasarana, sekolah pun harus mampu menciptakan 7K, yaitu Keamanan, Kebersihan, Ketertiban, Kekeluargaan, Kerindangan, Keselamatan dan Kesehatan. Hal ini sangat penting guna memberi dukungan terhadap terciptanya iklim sekolah yang baik bagi guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam hubungannya dengan hal ini, Burhanudin sebagaimana dikutif oleh Idochi Anwar menyatakan bahwa salah satu dari tiga fungsi kepemimpinan pendidikan adalah fungsi yang berhubungan dengan penciptaan suasana kerja yang mendukung proses kegiatan administrasi berjalan dengan lancar, penuh semangat, sehat dan dengan kreatifitas yang tinggi. Artinya pemimpin harus menciptkan iklim organisasi yang mampu mendorong peningkatan produktifitas pendidikan yang tinggi dan kepuasan kerja yang maksimal.[122]

Persoalan kepuasan kerja pada hakekatnya adalah persoalan menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya. Kepuasan itu tidak nampak secara nyata, tetapi dapat berwujud dalam suatu hasil pekerjaan. Penting dipenuhi beberpa hal dalam hubungannya dengan upaya membangun kepuasan kerja, yaitu :

a. Pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keakhlian

b. Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang cukup

c. Pekerjaan yang menyediakan informasi yang cukup lengkap

d. Pimpinan yang lebih banyak mendorong tercapainya suatu hasil dan tidak terlalu banyak atau ketat melakukan pengawasan

e. Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang cukup memadai

f. Pekerjaan yang memberikan tantangan untuk lebih mengembangkan diri

g. Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan ketenangan

h. Harapan yang dikandung pegawai itu sendiri[123]

Guru-guru sebaliknya juga dapat mewarnai dan mempengaruhi bentuk-bentuk lingkungan kerja itu sendiri. Lingkungan kerja guru yang memuaskan, baik segi fisik, layanan maupun dari segi hubungan kerja akan dapat membentuk persepsi yang baik pada guru-guru terhadap lingkungan kerja. Persepsi guru yang baik terhadap lingkungan kerja dapat mendorong guru-guru bekerja dengan baik. Sebaliknya, bila persepsi guru-guru terhadap lingkungan kerja kurang baik, maka akan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku guru dalam bertugas.

Hubungan antar personil dalam suatu organisasi merupakan suatu hal yang mustahil dapat dihindari. Dalam satu sisi seluruh personil hendaknya dapat membentuk satu koalisi dalam rangka mencapai satu tujuan. Tapi pada sisi lain, terdapat satu kenyataan bahwa tak ada dua manusia yang sama, orang kembar sekalipun. Oleh karena itu, akan terdapat perilaku yang berbeda antara satu dengan lainnya. Tentang hal ini, teori atribusi menyarankan bahwa bila mengamati perilaku seorang individu, kita berusaha menentukan apakah perilaku itu ditimbulkan secara internal atau eksternal. Tetapi penentuan tersebut sebagian besar bergantung pada tiga faktor : (1) kekhususan (ketersendirian, distinctiveness), (2) konsensus, dan (3) konsistensi.[124] Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang diyakini berada dibawah kendali pribadi dari individu. Perilaku yang disebabkan secara eksternal dilihat sebagai hasil dari sebab-sebab luar. Skema teori Atribusi dapat digambarkan seperti di bawah ini

Pengamatan

Kekhususan

Konsensus

Perilaku Individual

Konsistensi

Rendah

Tinggi

Rendah

Tinggi

Eksternal

Internal

Eksternal

Internal

Penafsiran

Atribusi sebab

Tinggi

Rendah

Internal

Eksternal

Gambar 2. Teori Atribusi

Salah satu penemuan dari teori atribusi bahwa ada kekeliruan (galat, sesatan) atau prasangka (bias, sikap berat sebelah) yang menyimpangkan atau memutar balik (mendistorsi) atribusi. Misalnya, cukup banyak bukti menyarankan bahwa bila membuat pertimbangan atau penilaian mengenai perilaku orang lain, kita mempunyai kecenderungan meremehkan pengaruh faktor-faktor luar dan melebih-lebihkan faktor-faktor internal. Tentang ini disebut “kekeliruan atribusi mendasar”.

Sangat ideal apabila dalam lingkungan sekolah dapat terbentuk iklim sekolah yang dapat mendorong iklim kerja yang positip. C. Turney mengatakan ada tujuh karakteristik yang harus tercipta sebagai sekolah yang baik :

1. Commitment. Staff in good schools collectively agree upon the reason for being, and they are members of an organisation in agreement about goals and purposes.

2. Expectations. I Good shools have teachers who expect others to perporm as well as they can, and studens know they are required to achieve, as must their teavher ad administratotrs.

3. Action. People in good schools are doers, trying out new ideas, keeping what works, and developing their strengths, without just talking about possibilities all the time.

4. Leadership. The principal and other designated personnel in good schools create opportunities for many leaders to emerge in a variety of roles involving innovation ad risk.

5. Focus. In good schools, staff know what their core tasks are, and they stick to academic pursuits and the fostering of student achiefment and success.

6. Climate. In good schools, the tone is obvious, but hard to define, most of all having to do with creating work conditions which are favourable for teachers and students alike.

7. Stack (their term). In good schools, there is a reasonable level of human and other resources, with time to developed, innovate and allow for effective interpersonal contact at all levels.125

Dari uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa perilaku individu dapat dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun oleh faktor eksternal. Kedua pengaruh tersebut dapat membentuk suatu perilaku positif atau negatif, baik bagi individu itu sendiri maupun bagi organisasi. Demikian pula halnya dengan perilaku guru dalam melaksanakan tugas dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor lingkungan kerja.

Mengingat unsur-unsur dinamis bagi seseorang dalam berkerja cukup banyak yang meliputi faktor internal maupun faktor eksternal, maka penelitian tentang lingkungan kerja sekolah dibatasi pada tiga aspek, yaitu (1) kondisi kerja sekolah. (2) layanan terhadap guru, dan (3) hubungan guru dalam bekerja.

B. Kerangka Berpikir

1. Hubungan persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan sikap guru pada proses pembelajaran

Setiap organisasi membutuhkan koordinasi dengan para anggotanya untuk mencapai tujuan. Kohler mengemukakan bahwa organisasi merupakan suatu sistem hubungan-hubungan terstruktur yang mengkoordinasi usaha sekelompok orang ke arah pencapaian tujuan-tujuan tertentu.126 Organisasi sekolah merupakan suatu sistem yang mengkoordinasikan usaha kepala sekolah, guru, pegawai, tata usaha dan murid dalam mencapai tujuan sekolah. Dalam mencapai tujuan sekolah, kerjasama yang baik antara guru dan kepala sekolah sangatlah penting.

Sebagai sebuah tim, kerjasama antara guru dan kepala sekolah sangatlah penting guna kelancaran proses pendidikan di sekolah. Tanpa adanya kerjasama yang baik, dikhawatirkan proses pendidikan di sekolah tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Kerjasama antara guru dengan kepala sekolah akan tercipta bilamana guru-guru mempunyai persepsi yang baik terhadap kepemimpinan kepala sekolahnya. Persepsi guru akan baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah bilamana guru-guru merasa kepala sekolah memperlakukannya secara baik, adil dan tanpa pilih kasih.

Bilamana guru-guru mempunyai persepsi yang baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah, guru-guru akan mendukung dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang digariskan kepala sekolah dengan senang hati, bukan karena terpaksa. Sebalinya, bila guru mempunyai persepsi yang tidak baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah, ada kemungkinan guru-guru kurang menghargai kepala sekolah, dan berkerja asal-asalan saja.

Milton mengatakan bahwa persepsi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi sikap.127 Bila persepsi guru baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah, guru-guru akan melaksanakan tugas yang diberikan dengan senang hati termasuk tugas mengajar. Adanya kemauan guru-guru untuk mengajar dengan baik merupakan pencerminan dari sikap guru terhadap pengajaran. Dengan demikian, berarti persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah mempunyai hubungan yang berarti dengan sikap guru terhadap pengajaran.

Persepsi guru yang positif terhadap kepemimpinan kepala sekolah menyebabkan guru-guru akan berkerja dengan baik, termasuk mengajar. Adanya keinginan untuk bekerja dengan baik, diharapkan lambat laun akan membentuk sikap guru yang positif terhadap proses pembelajaran.

2. Hubungan persepsi guru terhadap lingkungan kerja dengan sikap guru pada proses pembelajaran

Lingkungan kerja merupakan tempat dan unsur-unsur dinamis yang berada disekitar seseorang bekerja. Sekolah sebagai lingkungan kerja diantara guru akan terjadi saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi. Guru akan mewarnai lingkungan kerja sekolah. Sebaliknya lingkungan kerja sekolah juga akan mempengaruhi guru-guru dalam bekerja.

Baiknya persepsi guru terhadap lingkungan kerja sekolah akan merangsang guru-guru untuk bertugas dengan baik, termasuk dalam melaksanakan tugas mengajar. Sebaliknya, bila persepsi guru-guru terhadap lingkungan kerja sekolah kurang baik juga akan menyebabkan guru-guru kurang betah dalam bekerja. Bila guru-guru merasa lingkungan kerja sekolah baik, ini berarti bahwa lingkungan kerja sekolah dapat mendukung pelaksanaan tugas guru bekerja dengan baik. Sebaliknya, bila dirasakan lingkungan kerja sekolah kurang mendukung pelaksanaan tugasnya, berkemungkinan guru akan bekerja sesuai dengan kondisi yang ada.

Dari urian tersebut di atas terlihat bahwa persepsi guru terhadap lingkungan kerja sekolah mungkin selalu mempunyai hubungan yang berarti dengan sikap guru pada proses pembelajaran.

3. Hubungan persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dan lingkungan kerja dengan sikap guru pada proses pembelajaran

Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah, bertanggung jawab bagi kelancaran proses pendidikan disekolah yang dipimpinnya. Guru-guru sebagai personil sekolah selalu terlibat dengan kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah dipengaruhi oleh perilaku guru-guru dan situasi yang ada. Sebaliknya, sikap dan perilaku guru dalam bekerja juga dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah dan situasi yang ada. Hubungan-hubungan yang terjadi antara guru-guru dengan kepala sekolah, serta informasi-informasi yang diterima mengenai kepemimpinan kepala sekolah dari guru-guru dan karyawan lainnya dapat membentuk persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah.

Persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah berkemungkinan akan mempengaruhi sikap dan perilaku guru dalam bertugas. Persepsi guru yang baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah akan merangsang guru-guru untuk berkerja dengan baik, termasuk dalam melaksanakan tugas mengajar. Adanya kemauan guru-guru untuk melaksanakan tugas mengajar dengan baik merupakan pencerminan dari sikap guru pada proses pembelajaran.

Pada sisi lain, lingkungan kerja sekolah sebagai lingkungan dimana tempat guru bekerja, juga mempunyai peranan penting dalam pembentukkan sikap guru pada proses pembelajaran. Persepsi guru yang baik terhadap lingkungan kerja sekolah akan mendorong guru-guru untuk berkerja dengan baik, termasuk tugas mengajar. Adanya keinginan guru-guru melaksanakan tugas mengajar dengan baik adalah merupakan pencerminan dari sikap positif guru pada proses pembelajaran.

Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dan terhadap lingkungan kerja sekolah secara bersama-sama berkemungkinan mempunyai hubungan yang berarti dengan sikap guru pada proses pembelajaran.

Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah, persepsi guru terhadap lingkungan kerja dengan sikap guru pada proses pembelajaran di SMU Negeri Kabupaten Kuningan, maka penelitian ini perlu dilakukan.

Dibawah ini dapat dilihat kerangka hubungan antara ketiga variabel penelitian.

Persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah (X1)

Persepsi guru terhadap lingkungan kerja (X2)

Sikap guru pada proses pembelajaran (Y)

Gambar 3. Hubungan antara variabel bebas ( X1 dan X2 ) dengan variabel terikat ( Y )

C. Hipotesis Penelitian

Untuk mengarahkan penelitian yang dilakukan, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan positif antara persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan sikap guru pada proses pembelajaran di SMU Negeri Kabupaten Kuningan.

2. Terdapat hubungan positif antara persepsi guru terhadap lingkungan kerja sekolah dengan sikap guru pada proses pembelajaran di SMU Negeri Kabupaten Kuningan.

  1. Terdapat hubungan positif antara persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dan terhadap lingkungan kerja sekolah secara bersama-sama dengan sikap guru pada proses pembelajaran di SMU Negeri Kabupaten Kuningan.


[46] George R. Milton. 1991. Human behavior in organization Tree levels of behavior. Englewood Cliffs, N J : Prentice-Hall Inc., h. 56

[47] Paul. F Secord, Bachman, Carl. W. 1964. Social psichology , New York : Mc. Graw-Hill Book Comapy, h. 89

[48] Witherington, H.C. 1986. Psikologi Pendidikan , Jemmars, Bandung, h. 113

[49] Kartini, Kartono. 1985. Psikologi sosial untuk manajemen perusahaan dan industri, Jakarta, Rajawali Pers.

[50] Jalaludin Rahmad. 1986. Psikologi Komunikasi , Remaja Karya, Bandung, h. 49-50

[51] George J. Mouly. 1973. Psichologi for effective teaching, New York : Holt Renehart and Winston, Inc, h. 413

[52] Robbins, Stephen P, Perilaku Organisasi, Konsep-Kontroversi-Aplikasi, Jilid I, Jakarta: PT Prenhallindo, h. 196

[53] Yanto Subiyanto, Dedi Suryadi, Tanya Jawab Pengantar Psikologi, Bandung, Asrmico, h. 37

[54] W. Jack Duncan. 1981. Organizational Behavior, Houghton Mifflin Company, Boston, h. 91

[55] Yanto Subiyanto, op cit, h. 38

[56] Robins P., Stephen. 1996. op cit , h. 173

[57] Jalaludin Rahmad, loc cit.

[58] Adam Ibrahim Indrawujaya. 1983. Perilaku Organisasi, Sinar Baru Bandung, h. 39

[59] Rooijakkers, Ad. 1991. Mengajar Dengan Sukses, Jakarta: Grasindo, h. 95

[60] Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah, op. cit., h. 34

[61] Ibid., h. 11

[62] Djam’an Satori. 1980. Administrasi Pendidikan , Publikasi FIP IKIP Bandung, h.36

[63] Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, Depdikbud., Jakarta, 1994, h. 3

[64] Ibid, hal 4

[65] Nasution, S. 1982. Didaktik Asas-Asas Mengajar, Bandung: Jemmars, h.8

[66] Dunkin, Michael J., Biddle, Bruce j. 1974. The Study of Teaching, Holt, Rinehart and Winston, Inc. h.98

[67] Dunkin, Michael J., Biddle, Bruce j., loc. cit

[68] Dunkin, Michael J., Biddle, Bruce j., loc. cit

[69] Nasution. S., Prof. Dr. M.A.. 1983. Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars, , h. 105

[70] Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan,Erlangga, Jakarta, h. 221

[71] Balnadi Sutadipura. 1985. Aneka Problem Guru, Bandung: Angkasa, , h. 122

[72] Witherington, H.C. , op cit., h 7-8

[73] Modul II : Alat Penilaian Kemampuan Guru, Depdikbud, Jakarta, 1982, h. 5

[74] Eggen, Paul. P., Kauchak, Donald. P. & Robert, J. 1986. Strategy for teaching, Information processing in the classroom, Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall,Inc, h. 125

[75] Hasibuan, J., dan Mudjiono. 1986. Proses belajar mengajar, Bandung: Remaja Karya, , h. 15

[76] Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah, op cit., h. 9

[77] Robbins P., Stephen, op cit., h.124

[78] Muh. Said, Junimar Affan. 1990. Psikologi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung Jemmars, h.45

[79] Buku II C AKTA IV. 1984. h. 22

[80] Robbins P., Stephen, loc cit . 124

[81] Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah, op. cit., h. 43

[82] Robbins P., Stephen, op cit., h. 289

[83] Robbins P., Stephen, op cit h. 44

[84] Hadari Nawawi. 1985. Administrasi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, h. 33

[85] Locke, A. Edwin & Association. 1997. Esensi Kepemimpinan, Spektrum, h. 3

[86] Turney, C. (et al), The School Manager, Australia: Allen and Unwin, h. 48

[87] Richard Beckhard. 2000. The Leader Of the Future, , Jakarta: Gramedia, h. 125-126

[88] Idochi, op cit, h. 26

[89] Boone, Louis E., David L Kurtz. 1984.. Principles of Management, New York: Random House Inc. h. 101.

[90] Ibid. h. 102

[91] Turney, C. (et al), op cit , h. 131

[92] George R. Terry. 1986. Asas-Asas Manajemen, Terjemahan Winardi, Bandung:Alumni. h. 233

[93] Ibid. h. 233

[94] C. Turney et al, op. cit., h. 200

[95] George R. Terry, op. cit., h. 313.

[96] C. Turney (et al), op. cit., h. 240.

[97] C. Turney (et al), op. cit., h. 248.

[98] Panduan Manajemen Sekolah, Depdiknas. 2000. h. 15

[99] Idochi Anwar. 2001. Materi Kuliah: Manajemen Pendidikan, Program Magister, UHAMKA

[100] Kepemimpinan Pendidikan, Depdiknas.,.1999. h. 3

[101] Idochi Anwar, op cit., h.35

[102] Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 47

[103] Stephen P. Robins, op cit, h. 4-5

[104] Turney, C. (et al), op cit., h. 11

[105] Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah.1999. Supervisi Pendidikan, Depdikbud, Jakarta, h. 2-3

[106] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan, Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, h. 136

[107] Robbins, Stephen P., op cit., h. 198

[108] Muhibbin Syah, loc cit.

[109] Turney, C. (et al), op cit., h. 61

[110] Panduan Manajemen Sekolah, Depdikbud, 2000, h. 131-132

[111] Woodworth, R.S., Marquis,D.G., I. Ruchimat, Psychology III, Suatu Pengantar Kedalam Ilmu Jiwa, Bandung: Jemmars, h. 4

[112] Kartini, Kartono, loc. cit.

[113] Woodwordth, R.S., op. cit., h. 8

[114] Titus, Harold H. 1984. Living Issues in Philosophy (Persoalan-persoalan Filsafat), Jakarta: Bulan Bintang, h. 33

[115] Elizabet B. Hurlock, op cit, h. 7

[116] Taher A. Razik, Austin D. Swanson.1995. Fundamental Concepts of Educational Leadership and Management,New Jersey. Prentice Hall. h. 283.

[117] Adam Ibrahim Indrawujaya, op cit, h. 28

[118] Ibid, h. 29

[119] Stephen P. Robines, op cit, h. 181

[120] Stephen P. Robines, lok cit

[121] Depdikbud. 1999. Pola Pembinaan dan Pengembangan SMU Plus.

[122] Idochi Anwar, op cit, h. 31

[123] Adam Ibrahim Indrawujaya, op cit, h. 68

[124] Stephen P. Robins, op cit, h. 127

125 C. Turney, op cit, h. 15-16

126 Kohler, Jerry. W. 1978. Organization Comunication, New York: Rinehart and Winston, h. 76

127 Milton, George. R.. 1981. Human behavior in organization tree levels of behavior. England Cliffs, N.J : Prentice-Hall Inc., h. 112

Tinggalkan komentar