Bab 2- Deskripsi


A. Deskripsi Teoritis

Dalam deskripsi teoritis ini secara berturut-turut akan dijelaskan tentang ketiga variabel yang menjadi objek penelitian, yaitu sikap guru pada proses pembelajaran dan persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah.

1. Sikap Guru pada Proses Pembelajaran

Sikap merupakan salah satu aspek penting kepribadian seseorang, sebab sikap seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa dapat mempengaruhi terhadap tindakan orang tersebut dalam bereaksi terhadap objek atau peristiwa tersebut. Sikap sering diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk menyenangi atau tidak menyenangi sesuatu rangsangan atau objek yang dihadapinya atau dihadapkan kepadanya.

Milton menyatakan bahwa “Attitudes are regularities of an individual’s feelings thoughts, and predisposition to act toward some aspect of his her envirolment.”[1] Sedangkan Secord dan Bachman mengatakan bahwa “Attitude refers to certain regulaties of an individual’s feeling, thoughts, and predispositions to act toward some aspect of his envirolment.”[2]

H.C. Witherington berpendapat bahwa “sikap adalah kecenderungan untuk berfikir atau merasa dalam cara yang tertentu atau menurut saluran-saluran tertentu. Sikap adalah cara bertingkah laku yang karakteristik, yang tertuju terhadap orang-orang, rombongan-rombongan.”[3]

Dari pengertian di atas terlihat bahwa sikap merupakan salah satu aspek kepribadian yang mantap, baik dalam cara berpikir, merasa maupun berkecenderungan untuk berbuat terhadap sesuatu ide, objek, peristiwa atau situasi. Sikap bukan tingkah laku, tetapi kecenderungan untuk bertingkah laku. Sikap dipengaruhi oleh pengalaman, sifatnya teratur dan berkesinambungan, kendatipun tidak bersifat tetap dan dapat berubah.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para akhli, Rahmad menyimpulkan tentang sikap sebagai berikut :

Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berfikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan berperilaku dengan cara tertentu terhadap obyek sikap. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi, sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu. Sikap relatif lebih mantap dan mengandung unsur evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sikap timbul dari pengalaman dan tidak dibawa dari lahir.[4]

Sedangkan W. Jack Duncan mendefinisakan sikap atau atitude sebagai “ a predisposition to react in some manner to an individual or situation”[5] Dikatakan bahwa sikap adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu rangsangan yang timbul dari seseorang atau dari suatu situasi.

Dari beberapa pendapat di atas terlihat bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa akan menentukan perilaku terhadap objek atau peristiwa yang disikapinya, sebab menurut Yanto Subiyanto sikap memiliki ciri-ciri :

1. Dalam sikap selalu terdapat hubungan subjek dan objek, …

2. Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman.

3. Karena sikap dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan lingkungan disekitar individu yang bersangkutan pada saat yang berbeda.

4. Dalam sikap yang bersangkutan, tersangkut pula faktor motivasi dan perasaan, inilah yang membedakannya dari misalnya dengan ilmu pengetahuan.

5. Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan sudah dipenuhi. Jadi berbeda dengan refleks atau dorongan, …

6. Sikap tidak hanya satu macam saja … sesuai dengan banyaknya objek yang dapat menjadi perhatian orang yang bersangkutan.[6]

Sikap merupakan penggerak tingkah laku manusia secara teratur dan berkesinambungan. Mengenai hubungan antara sikap dengan tingkah laku, Leon Festinger mengemukakan teori “disonans kognitif”. [7] Disonans berarti suatu inkonsistensi (ketidakkonsistenan). Disonans kognitif mengacu pada setiap ketidaksesuaian yang mungkin dipersepsikan oleh seorang individu antara dua sikapnya atau lebih, atau antara perilaku dan sikapnya. Festinger berargumen bahwa setiap bentuk inkonsistensi tidak menyamankan dan bahwas individu-individu akan berupaya mengurangi dominans itu dan dari situ mengurangi ketidaknyamanan. Oleh karena itu, individu-individu akan mengusahakan keadaan mantap dimana disonans minimum. Selanjutnya dikemukakan bahwa hasrat untuk mengurangi disonans akan ditetapkan oleh pentingnya unsur-unsur yang menciptakan disonans itu, derajat pengaruh yang diyakini dipunyai oleh individu terhadap unsur-unsur itu, dan ganjaran yang mungkin tersangkut dalam disonans.[8]

Seseorang mempunyai sikap negatif terhadap suatu objek, peristiwa atau ide, ia cenderung kapan pun dan dimana pun untuk tidak mendukung objek, peristiwa atau ide yang disikapinya tersebut. Bila seseorang mempunyai masa bodoh terhadap objek sikap, maka ia cenderung selalu tidak peduli dengan objek yang disikapi itu. Dalam hubungannya dengan hal ini, Mar’at mengemukakan bahwa sikap berarti ada sesuatu tekanan yang kuat dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Sikap tidak bersifat tetap, tetapi dalam kurun waktu tertentu dapat berubah. Bila pengalaman berubah dari biasa dan sangat terkesan, maka ada kemungkinan pengalaman tersebut mempengaruhi sikap individu terhadap objek yang disikapi. Aspek kognitif dan aspek perasaan merupakan ekspresi internal dari sikap, sedangkan kecenderungan bertingkah laku merupakan ekspresi dari sikap.

Perubahan sikap pada seseorang dapat disebabkan oleh proses interaksi dengan lingkungan atau melalui proses pendidikan. Perubahan sikap dapat terjadi secara sebangun dan dapat pula terjadi secara tidak sebangun. Perubahan yang sebangun adalah perubahan dalam intensitas saja.. Misalnya, seseorang yang semula bersikap “sangat setuju” menjadi “setuju”. Sedangkan perubahan yang tidak sebangun adalah perubahan yang bersifat perpindahan arah, misalnya seseorang yang semula bersikap “sangat setuju” berubah menjadi “tidak setuju” atau kebalikannya.[9]

Konsep sikap sebagaimana disebutkan diatas berlaku secara universal, termasuk didalamnya sikap guru. Bila sikap guru pada proses pembelajaran positif, maka kecenderungannya adalah akan melaksanakan proses pembelajaran dengan baik. Demikian pula sebaliknya, jika sikap guru pada proses pembelajaran negatif, maka kemungkinan untuk tidak berusaha menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik. Hal ini akan berdampak pada hasil pembelajaran yang sudah pasti tidak akan memuaskan. Jangankan bagi guru yang tidak diimbangi dengan sikap positif pada proses pembelajaran, guru yang dapat mengajar dengan cermat sekalipun tetapi kalau tidak bertolak dari tujuan tertentu, maka pelajaran yang diberikan pasti tidak akan banyak berguna.[10]

Sikap guru pada proses pembelajaran akan diimplementasikan dalam perilakunya ketika melaksanakan proses pengajaran itu sendiri. Oleh karena itu perilaku guru dalam proses pembelajaran dapat menunjukkan tingkat profesional guru itu sendiri. Perilaku guru menurut Glickman dapat diklasifikasikan menjadi empat klasifikasi, yaitu : (1) Guru dengan komitmen rendah; (2) Guru dengan komitmen tinggi; (3) Berpikir abstrak tingkat rendah; dan (4) Berpikir abstrak tingkat tinggi.[11]

Persoalan penting dengan adanya berbagai kemungkinan tentang sikap dan perilaku guru terhadap pengajaran, yaitu persoalan keberhasilan proses pengajaran. Sulit tujuan pengajaran akan tercapai apabila sikap guru terhadap pengajaran negatif. Sedangkan tujuan pengajaran harus sejalan dengan tujuan pendidikan, baik tujuan institusional maupun tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian sudah dapat dipastikan apabila tujuan pengajaran tidak berhasil, maka jelas tujuan instutisional dan tujuan pendidikan nasional tidak akan tercapai pula.

Oleh karena itu melalui proses pengajaran, guru-guru bertanggung jawab untuk memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang memungkinkan siswa berkembang dengan baik. Dalam proses pengajaran guru hendaknya memperhatikan kegiatannya dalam hal :

1. Mendorong siswa untuk belajar aktif.

2. Suka membimbing siswa dalam mengerjakan mata pelajaran, tanpa pamrih pribadi.

3. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi siswa yang kurang cepat dalam belajarnya.

4. Bersikap adil.

5. Selalu menilai tugas/pekerjaan siswa.[12]

Sedangkan Ratchs, sebagaimana dikutif Djam’an Satori mengemukakan tiga belas fungsi yang diharapkan dimiliki oleh seorang guru, yaitu :

1. berinisiatif, membimbing dan memberi arah,

2. mengubah dan menyempurnakan kurikulum,

3. memberitahukan, menerangkan dan menunjukkan bagaimana caranya,

4. melaksanakan dengan membangkitkan rasa aman dan terjamin

5. proses penjelasan, dari anggapan sampai kepada pembuktian,

6. mengkoordinir kerja kelompok,

7. membantu memperkaya masyarakat,

8. meneliti dan memperbaiki pekerjaan,

9. “evaluating, recording dan reporting”,

10. “school-wide function”.

11. memelihara keindahan kelas,

12. memelihara dan meningkatkan karier profesional,

13. hidup sebagai warga negara yang baik.[13]

Berdasarkan pendapat di atas dapat dilihat bahwa tugas guru tidak hanya terbatas pada kegiatan di kelas, tapi juga mempunyai peranan penting dalam proses pengambilan keputusan. Walaupun demikian, guru bekerja dalam lingkungan dimana tugasnya telah ditetapkan dengan jelas dan dimana mereka berkesempatan untuk berpartisipasi dalam merumuskannya.

Pengajaran merupakan interaksi akademis antara guru dengan siswa di tempat, pada waktu dan dengan isi yang telah ditentukan. Dalam Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengarar disebutkan bahwa belajar mengajar adalah interaksi atau hubungan timbal balik antara siswa dengan guru dan antar sesama siswa dalam proses pembelajaran. Pengertian interaksi mengandung unsur saling memberi dan menerima. Dalam setiap interaksi belajar mengajar ditandai sejumlah unsur, yaitu : (1) Tujuan yang hendak dicapai; (2) Siswa dan Guru; (3) Bahan pelajaran; (4) Metode yang digunakan untuk menciptakan situasi belajar mengajar; dan (5) Penelitian yang fungsinya untuk menetapkan seberapa jauh ketercapaian tujuan.[14]

Suatu proses pembelajaran dapat berjalan efektif bila seluruh komponen yang berpengaruh dalam kegiatan tersebut saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran digambarkan dalam skema dibawah ini.

Guru, Metode, Kurikulum, Sarana

PBM

Lingkungan

Siswa

Siswa yang berhasil

Gambar 1. Komponen yang berpengaruh pada Proses Pembelajaran

Skema di atas menggambarkan bahwa hasil belajar siswa akan tergantung pada komponen :

1. Siswa

Faktor diri siswa yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar adalah bakat, minat, kemampuan, dan motivasi untuk belajar. Siswa merupakan masukan mentah (raw input).

2. Kurikulum

Kurikulum mencakup : Landasan Program dan Pengembangan, GBPP dan Pedoman GBPP berisi materi atau bahan kajian yang telah disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa.

3. Guru

Guru bertugas membimbing dan mengarahkan cara belajar siswa agar mencapai hasil optimal. Besar kecilnya peranan guru akan tergantung pada tingkat penguasaan materi, metodologi, dan pendekatannya,

4. Metode

Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektivitas dan efesiensi proses pembelajaran.

5. Sarana Prasarana

Yang dimaksud dengan sarana prasarana antara lain buku pelajaran, alat pelajaran, alat praktek, ruang belajar, laboratorium dan perpustakaan. Kurikulum, guru, metode, dan sarana prasarna merupakan “masukan instrumen” yang berpengaruh dalam proses belajar.

6. Lingkungan

Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, budaya dan juga lingkungan alam, merupakan sumber dan sekaligus masukan lingkungan. Pengaruh lingkungan sangat besar dalam proses belajar.[15]

Dari keenam komponen yang berpengaruh terhadap hasil belajar tersebut yaitu komponen guru sebab guru yang akan mengelola komponen lainnya. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa proses mengajarlah yang memegang peranan penting dalam suatu proses pembelajaran.

Dalam hubungannya dengan hal diatas, sekurang-kurangnya terdapat tiga pandangan konsep mengajar dalam pengajaran sebagaimana dikemukakan S. Nasution, yaitu :

a. Mengajar adalah menanamkan pengetahuan pada anak;

b. Mengajar adalah menyampaikan kebudayaan pada anak;

c. Mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisir atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar.[16]

Pandangan pertama dan kedua bersifat teacher-centered, artinya guru yang memegang peranan utama. Dalam teacher-centered, guru mendominasi kegiatan pembelajaran yang tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif berpartisipasi. Kondisi seperti ini (domination), menurut Anderson memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Determines a detail or acts for the child in carrying out a detail.

2. Direct refusal.

3. Relocating, repeating, or placing children in different relations to each other or to property.

4. Postponing, slowing up the child.

5. Disapproval, blame, or obstruction.

6. Warning, threats, or group activity.

7. Rations material.

8. Lecture method (defining a problem or anticipating a question).

9. Questions: lecture method (one-answerd question) recitation.

10. Perfunctory questions as statements (indifference).[17]

Sedangkan pandangan ketiga lebih bersifat pupil-centered, yaitu kegiatan lebih banyak memerankan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pada kondisi seperti ini terjadi integrasi antara guru dengan siswa sehingga iklim pembelajaran menjadi lebih hidup. Anderson mengemukakan ciri-ciri kondisi pembelajaran integrasi, sebagai berikut :

1. Approval.

2. Accepts differences.

3. Extends invititations to activity.

4. Question or statement regarding child’s expressed interest or activity.

5. Builds up (helps child to better definition or solution without giving final answer).

6. Participates in joint activity with children.

7. Gives sympathy.

8. Gives permission.[18]

Dari dua kondisi diatas masing-masing dapat menimbulkan suasana dan iklim kelas yang berbeda sehubungan dengan keduanya pula memiliki karakteristik yang berbeda. Ada tujuh katagori tingkah laku guru sebagai indikator menciptakan iklim kelas, yang dikenal dengan Withall’s classroom climate categories

1. Learner-supportive statements that have the intent of reassuring or commending the pupil.

2. Acceptant and clarifying statements having an intent to convery to the pupil the feeling that the was undarstood and help him elucidate his ideas and feelings.

3. Problem-structurings statements or questions which proffer information or raise questions about the problem in an objective manner with intent to facilitate learner’s problem-solving.

4. Neutral statements which comprise polite formalities, administrative comments, verbatim repetition of something that has already been said. No intent inferable.

5. Directive or hortative statements with intent to have pupil follow a recommended course of action.

6. Reproving or deprecating remarks intended to deter pupil from continued indulgence in present “unacceptable” behavior.

7. Teacher self-supporting remaks intended to sustain or justify the teacher’s position or course of action.[19]

Dalam proses pengajaran perlu memperhatikan aspek-aspek di atas agar iklim kelas yang dibangun dapat mendukung keberhasilan proses pengajaran itu sendiri. Iklim kelas yang kondusif sangat besar artinya bagi guru dalam proses pencapaian tujuan pengajaran. Dilihat dari sisi guru, iklim kelas yang kondusif juga didukung oleh kewibawaan atau otoritasnya, artinya guru harus mampu mengendalikan, mengatur, dan mengontrol kelakuan anak. Dengan kewibawaan guru dapat menegakkan disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses pengajaran. S. Nasution menekankan bahwa :

“Dalam pendidikan kewibawaan merupakan syarat mutlak. Mendidik ialah membimbing anak dalam perkembangannya ke arah tujuan pendidikan. Bimbingan atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak anak dan kepatuhan diperoleh bila pendidik mempunyai kewibawaan. Kewibawaan dan kepatuhan merupakan dua hal komplementer untuk menjamin adanya disiplin.”[20]

Aspek-aspek pengajaran itu sendiri digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) kemampuan membuat rencana pengajaran, (2) melaksanakan pengajaran, dan (3) kemampuan dalam melaksanakan hubungan antar manusia.[21]

Eggen menggunakan istilah fase-fase bagi tahapan-tahapan pengajaran, yaitu (1) fase perencanaan, (2) fase empelementasi, dan (3) fase evaluasi.[22]

Conners seperti dikutip J. Hasibuan melihat kegiatan pengajaran dari sisi tugas guru. Conners mengidentifikasi tugas mengajar guru menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap sebelum mengajar, (2) tahap pengajaran, dan (3) tahap sesudah mengajar.[23]

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan guru dalam pengajaran pada intinya terdiri atas perencanaan pengajaran, proses pengajaran, dan kegiatan evaluasi. Ketiga kegitan tersebut identik dengan tiga tugas utama guru dalam melaksanakan pengajaran yang tertuang pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Repiublik Indonesia, No, 025/O/1995 tentang Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kredit. Tetapi ditambah dua kegiatan lain, sehingga menjadi lima kegiatan, yaitu :

1. Menyusun Program Pengajaran

2. Menyajikan Program Pengajaran

3. Evaluasi belajar

4. Analisis Hasil Evaluasi Belajar

5. Menyusun Program Perbaikan dan Pengayaan

Kelima tahap kegiatan guru sebagaimana disebutkan diatas merupakan bagian dari kompetensi profesi guru yang erat kaitannya dengan proses pengajaran.[24]

Kegiatan guru dari setiap tahap kegiatan pengajaran yang dilakukan guru meliputi :

1 Menyusun Program Pengajaran

a Menetapkan tujuan pengajaran

b Memilih dan mengembangkan bahan pengajaran

c Memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar

d Memilih dan memanfaatkan sumber belajar

2 Menyajikan Program Pengajaran

a Menciptakan ilkim belajar mengajar yang tepat

b Mengatur ruang belajar

c Mengelola interaksi belajar mengajar

3 Evaluasi belajar

a Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran

b Menilai proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan

4 Analisis Hasil Evaluasi Belajar

a Menentukan ketuntasan belajar secara perorangan dan klasikal

b Menentukan tingkat kesukaran butir soal

5 Menyusun Program Perbaikan dan Pengayaan

a Menyusun program perbaikan

b Menyusun program pengayaan

Kegiatan-kegiatan di atas merupakan kegiatan yang harus dilakukan guru dalam pengajaran. Indikator-indikator inilah yang diteliti berkenaan dengan sikap guru terhadap pengajaran.

2. Persepsi Guru terhadap Kepemimpinan Kepala Sekolah

Persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan maupun lewat penciuman. Aspek perasaan dan penghayatan disini dirasa kurang tepat sebagai alat penerima informasi dari lingkungan, tetapi perasaan dan penghayatan merupakan kelanjutan dari proses informasi yang diterima melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman ataupun alat perasa. Penginderaan merupakan aspek awal dalam menerima informasi yang kemudian dipersepsikan pada berbagai indera seperti mencium, mendengar, melihat, meraba sesuatu objek, peristiwa, ide atau kegiatan.

Gambaran di atas sejalan dengan pendapat Stephen P. Robins tentang persepsi. Ia menyatakan bahwa : “Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.”[25]

Pendapat lain dikemukakan oleh H. Muh. Said dan Junimar Affan yang menyatakan bahwa : “Persepsi adalah proses yang membeda-bedakan rangsang yang masuk untuk selanjutnya diberikan maknanya dengan bantuan beberapa faktor.”[26]

Lebih luas lagi tentang pengertian persepsi sebagaimana dipaparkan oleh Filley. Menurut Filley ada tiga komponen utama dari proses persepsi. Ketiga komponen itu sebagai berikut :

a Seleksi

Seleksi merupakan proses psikologis yang sangat erat dengan pengamatan atau stimulus yang diterima dari luar. Rangsangan (stimulus) dari luar yang mencapai indera kita terbatas, baik mengenai jenis, maupun mengenai intensitasnya. Namun sebagian kecil stimulus yang mencapai kesadaran kita, karena adanya proses penyaringan, disamping faktor intensitas perhatian yang diberikan.

b Interpretasi

Interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang, Interpretasi tergantung kepada berbagai faktor, seperti pengalaman, sistem nilai, motivasi, kepribadian dan kecerdasan.

c Reaksi

Interpretasi dari persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku.[27]

Informasi yang diterima individu mengenai objek, peristiwa, kegiatan atau ide, kemudian diorganisikan dan dinterprestasikan sehingga melahirkan pendapat atau pandangan. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menginterprestasikan informasi yang diterimanya tentang objek, peristiwa, ide atau kegiatan tertentu, diantaranya pengalaman, motivasi, kecerdasan dan intensitas perhatian yang diberikan.

Informasi-informasi tentang suatu objek, peristiwa atau kegiatan dapat diterima melalui proses pengamatan, pendengaran, perabaan maupun melalui penciuman. Informasi yang diterima diseleksi oleh individu sesuai dengan kepentingan utama masing-masing, dan dipahami menurut kebiasaan masing-masing individu. Gambaran realita yang dihasilkan merupakan pandangan realita individu yang dikonstruksi menurut gambaran masing-masing. Stephen P Robins mengatakan bahwa bila seseorang memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, maka penafsirannya itu akan sarat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi orang itu.[28]

Kenyataan di atas berlaku juga bagi guru-guru dalam menerima informasi tentang kepemimpinan kepala sekolah. Informasi tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk pendapat atau pandangan. Pendapat atau pandangan tersebut merupakan konstruksi dari masing-masing guru. Inilah yang merupakan realita kepemimpinan kepala sekolah menurut guru-guru.

Persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah terbentuk karena adanya informasi-informasi yang diterima oleh guru-guru tentang kepemimpinan kepala sekolah. Informasi tersebut dapat kontak langsung dengan kepala sekolah, dan dapat pula diterima dari guru-guru lain, karyawan tata usaha, dan orang lain.

Tugas kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah adalah memahami kultur sekolah sebagai dasar dalam usaha meningkatkan kondisi-kondisi di sekolah, sehingga tercipta perwujudan dan kegiatan belajar-mengajar yang bermutu tinggi. Kultur sekolah mencakup hal-hal sebagai berikut :

1) Persepsi guru dan staf sekolah lainnya tentang ciri atau karakteristik dan kualitas di sekolah;

2) Pola kerja yang mencakup perilaku dalam beroganisasi di sekolah, seperti motivasi, komunikasi, kepemimpinan, penentuan tujuan, evaluasi dan pengawasan;

3) Persepsi guru dan staf lainnya yang mempengaruhi kinerja mereka;

4) Kinerja guru yang mempengaruhi kinerja mereka.[29]

Sekolah yang sehat memiliki kultur organisasi sekolah yang baik. Sekolah dikatakan sehat bila terdapat dorongan dan semangat yang tinggi. Moral kerja yang tinggi jika kepala sekolah, guru dan staf selalu bekerja dengan semangat yang tinggi, sangat antusias, bergairah, dan sebagainya. Selanjutnya sekolah sehat bila sekolah itu terhindar dari tekanan-tekanan berbagai pihak.

Kepemimpinan sebagai istilah umum dapat dirumuskan sebagai proses dengan sengaja mempengaruhi orang lain dalam merealisasikan tujuan. Nawawi melihat kepemimpinan sebagai proses mengarahkan, membimbing, mempengaruhi atau mengawasi pikiran, perasaan atau tindakan.[30]

Edwin A. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai :

… proses membujuk (inducting) orang-orang lain untuk mengambil langkah-langkah menuju suatu sasaran bersama. Definisi ini mengkatagorikan tiga elemen :

1. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept).

2. Kepemimpinan merupakan suatu proses.

3. Kepemimpinan harus membujuk orang-orang lain untuk mengambil tindakan.[31]

Dengan demikian terlihat bahwa kepemimpinan merupakan suatu aktivitas, suatu seni membujuk, mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Aktivitas yang dilakukan pimpinan meliputi kegiatan mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mengawasi pikiran, perasaan, tindakan atau tingkah laku orang lain.

Dalam konteks sekolah K. Laws, (et al) menjelaskan kepemimpinan sebagai berikut :

“Leadership, in the context of a school, help bring meaning and asense of purpose to the relationship between the leader, the staff, the students, the parents and the wider school community. Leadership is not only a matter of what a leader does, but how a leader makes people feel about themselves in the work situation and about the organisation itself.”[32]

Kepemimpinan dalam kontek sekolah lebih menekankan pada terjadinya hubungan antara personil sekolah serta menciptakan iklim kebersamaan dan saling memiliki yang ditandai dengan rasa kebersamaan dalam bekerja. Dalam kondisi seperti itu akan tercipta hubungan yang harmonis diantara seluruh personil sekolah ( Kepala Sekolah, Guru, Staf Tata Usaha, Siswa, dll.).

Keberhasilan pimpinan menggerakkan bawahan sangat tergantung kepada kemampuannya mempengaruhi bawahannya agar mau berkerja dengan baik. Kepemimpinan merupakan faktor penentu yang paling dominan dalam usaha organisasi untuk mencapai tujuan dan berbagai sasarannya. Sedangkan Richard Beckhard mengemukakan ada dua prinsif kepemimpinan. “Prinsip pertama adalah adanya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. … Prinsip kedua adalah bahwa pemimpin yang efektif menyadari dan mengelola secara sadar dinamika hubungan antara pemimpin dan pengikutnya.” [33]

Lebih jauh Idochi mengemukakan bahwa :

… kemampuan seorang pemimpin dalam menggunakan kewenangannya untuk menggerakkan organisasi melalui keputusan yang dibuatnya. Pengertian yang lebih populer menunjuk pada pola keharmonisan interaksi antara pemimpin diimplementasikan dalam bentuk pembimbingan dan pengarahan terhadap bawahan. Pola interaksi biasanya diawali dengan upaya mempengaruhi bawahan agar mereka mau digerakkan sesuai dengan tujuan organisasi.[34]

Kepala sekolah selaku pimpinan merupakan aspek penentu bagi pengembangan dan peningkatan sekolah. Salah satu indikator keberhasilan sekolah adalah bila sekolah dapat berfungsi dengan baik, terutama bila prestasi belajar siswa dapat mencapai hasil yang memuaskan.

Berdasarkan satuan pendidikan, kepala sekolah menduduki dua jabatan penting untuk dapat menjamin kelangsungan proses pendidikan sebagaimana yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan. Pertama, kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan. Kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan disekolahnya.

Sebagai pengelola pendidikan, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pendidikan dengan cara melaksanakan administrasi sekolah dengan seluruh substansinya. Disamping itu, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap kualitas sumberdaya manusia yang ada agar mereka mampu menjalankan tugas-tugas pendidikan. Oleh karena itu, kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja para personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional para guru.

Proses pengelolaan sekolah mencakup empat tahap, yaitu Planing (perencanaan); Organizing (mengorganisasikan); Actuating (pengerahan); dan Controling (pengawasan).

Planing (perencanaan), menurut Louis E Boone dan David L. Kurtz “ … as the proicess by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective.”[35] Definisi Planing (perencanaan) ini mengandung pengertian bahwa proses perencanaan mencakup penentuan tujuan yang sesuai serta bagaimana pencapaian tujuan tersebut.Tahapan perencanaannya meliputi tiga tahap, yaitu “(1) setting organizational objective, (2) Developing planning premises, (3) Developing methods to control the operation of the plan”[36]

Organizing (mengorganisasikan), Menurut George R. Terry, pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, hingga mereka dapat bekerja sama secara efisien dengan demikian akan memperoleh kepuasan pribadi dalam hal melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu”[37]

Sedangkan menurut Louis E. Boone pengorganisasian “……as the act of planning and implementing organization structure. It is the process of arranging people and physical resources to carry out plans and accopmplish organizational objective”[38].

Pengertian pengorganisasian seperti dijelaskan di atas mengandung pengertian bahwa pengorganisasian merupakan penentuan tentang siapa pihak-pihak yang akan diberi tugas untuk melaksanakan rencana yang sudah disusun serta bagaimana mekanismenya.

Actuating (pengerahan), menurut G.R Terry, actuating merupakan usaha menggerakan anggota-anggota kelompok demikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan yang bersangkutan dan sasaran-sasaran anggota-anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota itu ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.[39] Definisi di atas menunjukkan bahwa pengerahan atau pelaksanaan merupakan fungsi manajemen yang sangat penting sebab dengan fungsi ini program perencanaan dilaksanakan. Walaupun demikian diperlukan pembinaan dan pemberian motivasi agar seluruh komponen dalam organisasi dapat menjadikan proses pencapaian tujuan organisasi sebagai suatu bagian integral dalam pencapaian tujuan masing-masing, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan lancar dengan menghindari terjadinya konflik yang dapat mengacaukan tujuan organisasi.

Controling (pengawasan), menurut C. Turney adalah “…….the activities used by manager to ensure that activities of an organization are consistent with plan and organizational objectives are achieved.”[40] Ini mengandung pengertian bahwa pengawasan merupakan langkah pengendalian agar pelaksanaan dapat sesuai dengan apa yang direncanakan serta untuk memastikan apakah tujuan organisasi tercapai, karena rencana merupakan patokan atau kriteria penting agar pengawasan dapat terlaksana dengan efektif. Langkah-langkah dalam proses pengawasan adalah :

1. Establishing standard of performance

2. Influencing the performance of Staff

3. Monitoring and evaluating progress

4. Initiating correrctive action where performance below standard [41]

Untuk membandingkan antara hasil aktual dengan rencana diperlukan suatu standar tertentu hal itu agar pengawasan dapat dilakukan secara obyektif, sehingga dapat diketahui apakah suatu hasil menunjukan kemajuan atau tidak, disamping itu pengawasan juga perlu dibarengi oleh tindakan koreksi jika dipandang perlu dan apabila terjadi penyimpangan yang akan berdampak pada terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi.

Dinas Pendidikan Nasional dalam buku “Panduan Manajemen Sekolah” menjelaskah bahwa dalam me-manage sekolah harus pula mampu melakukan pengaturan-pengaturan berbagai bidang atau unsur yang ada disekolah, yaitu : Manajemen Kurikulum; Manajemen Personalia; Manajemen Kesiswaan; Manajemen Keuangan; Manajemen Sarana dan Prasarana; Manajemen Laboratorium; Manajemen Perpustakaan, Manajemen Bimbingan dan Konseling; Manajemen Mutu Terpadu; Manajemen Peningkatan Mutu; Manajemen Konflik; Manajemen Komunikasi; Manajemen Waktu; Dengan demikian maka tugas dan fungsi seluruh personil sekolah dapat selain dapat terkendali dan terkontrol, juga dapat tepat arah dan tujuan, sebab sudah jelas apa, bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab.

Sebagai pemimpin formal, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya menggerakkan bawahan ke arah pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini kepala sekolah bertugas melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, baik fungsi yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun penciptaan iklim sekolah yang kondusif bagi terlaksananya proses belajar mengajar secara efektif dan efesien.

Fungsi kepemimpinan pendidikan menunjuk kepada berbagai aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah dalam upaya menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan anggota masyarakat lain agar mau berbuat sesuatu guna mensukseskan program-program pendidikan di sekolah. Untuk memungkinkan tercapainya tujuan kepemimpinan pendidikan di sekolah, pada pokoknya kepala sekolah melakukan fungsi sebagai EMASLIM, yaitu Educator (pendidik), Manager, Administrator, Supervisor, Leader (pemimpin), inovator (pencipta), dan Motivator.[42] Ketujuh tugas dan fungsi kepala sekolah tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak boleh dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Bahkan lebih dari pada itu, menurut Prof. Dr. HM Idochi Anwar, M.Pd bukan saja seorang kepala sekolah, tapi bagi seluruh manager/pemimpin harus mampu menguasai, memahami dan melaksanakan delapan dimensi administrasi/manajemen pendidikan yaitu :

1. Social and cultural dimension

2. Effective learning process dimension

3. Economic and finance dimension

4. Organizational behaviour dimension

5. Law and Profession dimension

6. Empowering and developement of human resources dimension

7. Political dimension

8. Information tecnology dimension[43]

Kedelapan dimensi tersebut menunjukkan bahwa masalah manajemen pendidikan mempunyai cakupan yang luas dari mulai aspek sosial budaya, aspek pembelajaran, prilaku organisasi, ekonomi, hukum, pengembangan SDM, politik sampai dengan aspek teknologi informasi. Ini berarti bahwa manajemen pendidikan tidak bisa dilihat hanya dari aspek teknis yang sempit, melainkan harus juga memperhatikan dinamika masyarakat yang terus mengalami perubahan dengan cepat.

Oleh karena itu, terdapat seperangkat syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kepala sekolah agar proses kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik. Depdiknas. mengemukakan gambarannya sebagai berikut :

1. Kepribadian

Bahwa kepala sekolah harus dapat memiliki sifat-sifat pribadi terpuji, antara lain ramah, periang, bersemangat, berani, murah hati, spontan, percaya diri, memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

2. Pemahaman dan penguasaan terhadap tujuan-tujuan pendidikan

Kepala sekolah harus dapat memikirkan, merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, dan menginformasikannya kepada staf sekolah agar mereka sepenuhnya memahami tujuan yang ingin dicapai bersama.

3. Pengetahuan

Kepala sekolah harus memiliki wawasan pengetahuan yang lebih luas dibidangnya, maupun dibidang-bidang lain yang relevan.[44]

Selain itu kepala sekolah harus mampu mengembangkan pokok-pokok pikiran tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara dengan tiga prinsif fungsional kepemimpinan, yaitu :

1. Ing ngarso sung tulodo, yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu menjadikan dirinya sebagai panutan.

2. Ing madya mangun karso, yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi .

3. Tut wuri handayani, yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang dipimpinnya.

Ketiga prinsif fungsional kepemimpinan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Ia harus memiliki nilai-nilai keteladanan, memiliki kemampuan sebagai pembangkit semangat kerja bawahan, dan memiliki jiwa motivator sebagai motor pendorong yang kuat.

Lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Dadi Permadi dalam buku “Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Mandiri Kepala Sekolah”mengemukan dimensi-dimensi kepemimpinan yang mengarah ke dimensi kepemimpinan yang mandiri sebagaimana tercantum pada bagai di bawah ini.

DIMENSI-DIMENSI KEPEMIMPINAN

Petter ang Austin

Joe D. Batten

Keit and Girling

Dadi Permadi

Exelence in School Leadership

Tough-Minded Leadership

Participative Leadership

Dimensi Kepemimpin an Mandiri Kepala sekolah

1. Vision and sym-bols.

(Visi dan sombol -simbol)

2. Management by walking about.

(Manajemen de-ngan mengguna-kan praktek)

3. For the kids.

(Berfokus pada anak/siswa)

4. Autonomy, expe-rimentation, and support for failu-re.

Otonomi, perco-baan, dan mem-perbaiki kesalahan)

5. Crate of sense of family.

(Menciptakan ra-sa kekeluargaan)

6. Sense of whole rhythm, passion, intensity, and enthusiasm.

(Rasa kesatuan ritme kuat, pera-saan, intensitas, dan antusian)

1. Vision and strate-gy fueled by a tough, growing mind.

(Visi dan strategi yang didasari ke-tegaran dan pikir-an yang berkem-bang)

2. Commitment.

(Tanggung jawab)

3. Optimal serve trough optimum development of people.

(Pelayanan opti-mal melalui peng-embangan orang yang optimal)

4. Ethical behavior.

(Perilaku yang etis)

5. Hard and dedicate work.

(Dedikasi dan ker-ja keras)

6. Build on strengs.

(Membangun ke-kuatan)

7. Clear. (Jelas)

8. Intuitive, sensing management.

(Intuisi, manaje-men dengan pera-saan)

9. Expectations.

(Harapan-harapan)

10. Perpormance is all the matters.

(Penampilan da-lam berbagai hal)

11. Flexibility.

(Pleksibel)

1. Creative vision.

(Visi yang kreatif)

2. Build trust and or-anizational com-itent.

(Membangun ke-percayaan dan tanggung jawab)

3. Projects expertise.

(Mengembangkan keakhlian)

4. Developing the organization team.

(Mengembangkan organisasi)

1. Visi yang utuh.

2. Membangun kepercayaan dan tanggung jawab, pengambilan keputusan dan ko-munikasi (Hu-bungan sekolah dengan masyara-kat).

3. Pelayanan terbaik.

4. Mengembangkan orang.

5. Membina rasa per-satuan dan keke-luargaan.

6. Fokus pada siswa.

7. Manajemen yang memperhatikan praktek.

8. Penyessuaian gaya kepemimpinan.

9. Pemanfaatan ke-kuasaan.

10. Keteladanan, eks-tra inisiatif, jujur, berani, dan tawa-kal.

Bogdan sebagaimana dikutif oleh Dirawat, Dkk. dalam buku Idochi mengemukakan empat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan, yaitu:

1. Kemampuan mengorganisasikan dan membantu staff di dalam merumuskan perbaikan pengajaran di sekolah dalam bentuk program yang lengkap.

2. Kemampuan untuk membangkitkan dan memupuk kepercayaan pada diri sendiri dari guru-guru dan anggota staff sekolah lainnya.

3. Kemampuan untuk membina dan memupuk kerjasama dalam mengajukan dan melaksanakan program-program supervisi.

4. Kemampuan untuk mendorong dan membimbing guru-guru serta segenap staf sekolah lainnya agar mereka dengan penuh kerelaan dan tanggung jawab berpartisipasi secara aktif pada setiap usaha-usaha sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan sekolah itu sebaik-baiknya.[45]

Praktek kepemimpinan kepala sekolah yang dijiwai dengan kriteria-kriteria sebagai mana disebutkan di atas, akan dapat membentuk persepsi guru yang positif terhadap kepemimpinan kepala sekolah. Bila persepsi guru positif terhadap kepemimpinan kepala sekolah, mereka akan cenderung mengikuti aturan-aturan yang berlaku disekolah dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, kepala sekolah harus mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Dalam hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan, empat fungsi kepala sekolah yang menjadi bahan pertimbangan untuk diteliti, yaitu kepemimpinan kepala sekolah dalam mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mengawasi guru-guru.

Tentang keempat aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Kegiatan kepala sekolah dalam mengarahkan guru-guru

Kegiatan “mengarahkan atau pengarahan” merupakan satu kegiatan yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seorang pemimpin, termasuk kepala sekolah. “Pengarahan”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu pemberian petunjuk atau pedoman untuk pelaksanaan suatu kegiatann.[46] Pengarahan diberikan sebelum tugas yang diberikan dilaksanakan oleh bawahan.

Dalam kegiatan “mengarahkan atau pengarahan” dapat terjadi komunikasi tiga arah, yaitu antara pimpinan dengan bawahan dan bawahan dengan bawahan. Tidak akan ada satu kelompok pun yang dapat eksis tanpa adanya komunikasi. Melalui komunikasi terjadi pentransferan makna diantara anggota-anggotanya. Hanya melalui pentrnsferanlah makna dari satu orang ke orang lain informasi dan gagasan dapat disampaikan.

Tetapi komunikasi tidak hanya sebagai menanamkan makna, juga harus dapat dipahami. Maksudnya, apa yang disampaikan dapat menjadi gambaran mental yang dipersepsikan penerima, persis sama dengan yang dibayangkan oleh pengirim informasi.[47]

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas yang harus dilakukan, guru memerlukan pengarahan-pengarahan dari kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah, harus mampu mengarahkan guru-guru secara tepat dan konsisten sehingga guru-guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan terarah. Salah satu ciri sekolah yang efektif menurut C. Turney (et. al.) yaitu : “ Purposeful leadership of the staff by the principal (particularly in curriculum development and evaluation).”[48]

Adanya arahan-arahan yang diberikan oleh kepala sekolah terhadap guru akan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku guru dalam melaksakan tugasnya. Semakin baik arahan yang diberikan, serta konsisten apa yang diarahkan oleh kepala sekolah, maka kemungkinan semakin baik pula persepsi guru terhadap kepala sekolah dalam pemberian arahannya kepada guru-guru. Guru-guru dapat mengetahui dengan jelas apa yang harus dilaksanakannya dengan tanpa keragu-raguan. Sebaliknya, bila pengarahan kepala sekolah kepada guru-guru kurang tepat dan selalu berubah-ubah, maka kemungkinan guru-guru akan kesulitan dalam memahami apa yang harus dilakukan. Keadaan seperti ini mungkin sekali dapat mempengaruhi persepsi guru terhadap kepala sekolah.

2. Kegiatan kepala sekolah dalam membimbing guru-guru

Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai pengajar guru-guru tidak luput dari masalah, baik masalah yang bersifat pribadi maupun masalah kedinasan. Guru-guru kadang-kadang membutuhkan bantuan dari orang lain dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

Kepala sekolah sebagai pimpinan di sekolah merupakan tempat bagi guru-guru menyampaikan masalah. Ada kepala sekolah yang bersedia memberikan bantuan pada guru-guru dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik masalah pribadi maupun masalah kedinasan ketika guru tersebut mengutarakannya. Ada pula kepala sekolah yang kurang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah yang dihadapi guru-guru, karena tidak mau tahu dan tidak mengerti, walaupun diutarakan kepadanya.

Sebagai supervisor, kepala sekolah harus mau dan mampu memberikan bantuan tidak saja kepada guru tapi juga kepada seluruh personil sekolah lainnya untuk mengembangkan situasi dan kondisi yang dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan.

Sesuai dengan prinsip-prinsip supervisi, bimbingan yang diberikan kepala sekolah kepada guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Suasana kemitraan tidak menimbulkan rasa takut tetapi rasa saling memerlukan, hubungan kolegial dan bersifat interaktif.

2. Harus bersifat praktis, dalam arti dapat dikerjakan (workable), sesuai situasi dan kondisi sekolah.

3. Sistematis artinya supervisi dikembangkan dengan perencanaan yang matang sesuai dengan sasaran yang diinginkan.

4. Obyektif artinya memberikan masukan sesuai dengan aspek yang terdapat dalam instrumen.

5. Realistis maksudnya didasarkan atas kenyataan yang sebenarnya yaitu pada keadaan atau hal-hal yang sudah dipahami dan dilakukan oleh para staf sekolah.

6. Beraifat bantuan, bukan instruksi dengan tujuan peningkatan kemampuan mengajar dan pembentukan sikap profesional.

7. Kreatif artinya mengembangkan inisiatif dan kreativitas guru dalam proses belajar mengajar.

8. Antisipatif maksudnya diarahkan untuk menghadapi kesulitan yang mungkin terjadi.

9. Konstruktif artinya memberikan saran-saran perbaikan kepada yang disupervisi untuk teruss berkembang sesuai ketentuan atau aturan yang berlaku.

10. Kooperatif artinya supervisi mengambangkan perasaan kebersamaan untuk menciptakan dan mengembangkan situasi belajar mengajar.[49]

Dalam melakukan bimbingan, seorang kepala sekolah dapat melakukannya secara individual atau secara kelompok. Waktu bimbingan dapat dilakukan pada setiap kesempatan, baik secara formal maupun non formal.

3. Kegiatan kepala sekolah dalam memotivasi guru-guru

Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme-baik manusia ataupun hewan-yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah.[50]

Stephen P. Robbines mendefinisikan motivasi : “sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual.”[51]

Muhibbin Syah selanjutnya menyatakan bahwa motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu motivasi instrinsik ( dorongan dari dalam) dan motivasi ekstrinsik (dorongan dari luar).[52]

Dalam melaksanakan tugas mengajar, guru-guru didorong oleh motif-motif tertentu, baik dorongan yang timbul dari dalam dirinya (motivasi instrisik) maupun dorongan dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik). Motif guru dalam bekerja kadang-kadang kuat kadang lemah, karena itu guru-guru memerlukan rangsangan dari luar agar termotivasi dalam bekerja.

Kepala sekolah selaku pimpinan harus memiliki kemampuan memotivasi guru-guru agar mereka mau bekerja dengan baik. Sebagai motivator, merupakan bagian dari beberapa kriteria seorang pemimpin yang efektif sebagaimana dijelaskan oleh C. Turney (et. al.), sebagai berikut :

An effektive manager is one who utilises team menegement while displaying high concern for both the task of the organisation and the people who are involved with it. Such as manager is good motivator, sets high standards and recognises individual differences.[53]

Motivasi dapat diberikan oleh kepala sekolah dengan jalan menyediakan berbagai kondisi yang dapat merangsang guru-guru bekerja lebih baik, seperti perlakuan yang adil dan bijaksana, pemberian penghargaan, intensif, menyediakan kebutuhan-kebutuhan dalam bertugas. Ada kepala sekolah yang mampu memotivasi guru-guru sehingga mereka mau bekerja dengan baik. Sebaliknya ada kepala sekolah yang kurang mampu memotivasi guru-guru dalam bertugas, sehingga guru-guru kurang terangsang untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.

Persepsi guru tentang kemampuan kepala sekolah dalam memotivasi guru-guru dapat mempengaruhi pandangan dari guru-guru terhadap kepala sekolah. Bila persepsi guru positif terhadap cara-cara kepala sekolah memotivasi guru-guru, ada kemungkinan guru-guru akan bertugas dengan baik. Sebaliknya, bila persepsi guru-guru negatif terhadap kemampuan kepala sekolah dalam memotivasi guru-guru dalam bertugas, ini pun dapat membawa dampak negatif terhadap guru dalam bekerja.

4. Kegiatan Kepala Sekolah dalam Mengawasi Guru-guru

Pengawasan merupakan aspek penting dalam menjaga dan mendorong agar pelaksanaan suatu kegiatan dapat berjalan dengan baik. Pengawasan merupakan kegiatan mengukur tingkat efektifitas kerja personil dan tingkat efesiensi penggunaan metoda dan alat-alat tertentu dalam mencapai tujuan. Mengukur efektifitas maksudnya ialah menilai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan, apakah telah menghasilkan sesuatu seperti direncanakan, atau sekurang-kurangnya apakah pekerjaan itu telah berjalan menurut semestinya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Mengukur efesiensi merupakan penilaian kegiatan yang dilaksanakan apakah merupakan cara-cara yang tepat atau terbaik untuk mencapai hasil tertentu dengan resiko yang sekecil-kecilnya. Dengan kata lain, apakah cara yang ditempuh itu mampu memberikan hasil yang optimal dengan resiko yang sekecil mungkin.

Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna (efesien) dan berhasil guna (efektif) sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, pengawasan dapat meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pengajaran yang baik.

Melalui supervisi klinis, pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan cara luwes, tidak kaku dan dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada dari guru-guru. Perlakuan yang baik dari kepala sekolah dalam melakukan pengawasan juga akan menimbulkan kesan yang baik pula dari guru-guru terhadap pengawasan kepala sekolah. Demikian pula sebaliknya, pengawasan yang kurang baik dari kepala sekolah terhadap guru, akan menimbulkan kesan dan persepsi guru yang kurang baik pula terhadap pengawasan kepala sekolah terhadap guru.

B. Kerangka Berpikir

Hubungan persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan sikap guru pada proses pembelajaran

Setiap organisasi membutuhkan koordinasi dengan para anggotanya untuk mencapai tujuan. Kohler mengemukakan bahwa organisasi merupakan suatu sistem hubungan-hubungan terstruktur yang mengkoordinasi usaha sekelompok orang ke arah pencapaian tujuan-tujuan tertentu.126 Organisasi sekolah merupakan suatu sistem yang mengkoordinasikan usaha kepala sekolah, guru, pegawai, tata usaha dan murid dalam mencapai tujuan sekolah. Dalam mencapai tujuan sekolah, kerjasama yang baik antara guru dan kepala sekolah sangatlah penting.

Sebagai sebuah tim, kerjasama antara guru dan kepala sekolah sangatlah penting guna kelancaran proses pendidikan di sekolah. Tanpa adanya kerjasama yang baik, dikhawatirkan proses pendidikan di sekolah tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Kerjasama antara guru dengan kepala sekolah akan tercipta bilamana guru-guru mempunyai persepsi yang baik terhadap kepemimpinan kepala sekolahnya. Persepsi guru akan baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah bilamana guru-guru merasa kepala sekolah memperlakukannya secara baik, adil dan tanpa pilih kasih.

Bilamana guru-guru mempunyai persepsi yang baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah, guru-guru akan mendukung dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang digariskan kepala sekolah dengan senang hati, bukan karena terpaksa. Sebalinya, bila guru mempunyai persepsi yang tidak baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah, ada kemungkinan guru-guru kurang menghargai kepala sekolah, dan berkerja asal-asalan saja.

Milton mengatakan bahwa persepsi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi sikap.127 Bila persepsi guru baik terhadap kepemimpinan kepala sekolah, guru-guru akan melaksanakan tugas yang diberikan dengan senang hati termasuk tugas mengajar. Adanya kemauan guru-guru untuk mengajar dengan baik merupakan pencerminan dari sikap guru terhadap pengajaran. Dengan demikian, berarti persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah mempunyai hubungan yang berarti dengan sikap guru terhadap pengajaran.

Persepsi guru yang positif terhadap kepemimpinan kepala sekolah menyebabkan guru-guru akan berkerja dengan baik, termasuk mengajar. Adanya keinginan untuk bekerja dengan baik, diharapkan lambat laun akan membentuk sikap guru yang positif terhadap proses pembelajaran.

Dibawah ini dapat dilihat kerangka hubungan antara kedua variabel penelitian.

Persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah (X)

Sikap guru pada proses pembelajaran (Y)

Text Box: Persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah (X) Text Box: Sikap guru pada proses pembelajaran (Y)

Gambar 2. Hubungan antara variabel bebas ( X) dengan variabel terikat ( Y )

C. Hipotesis Penelitian

Untuk mengarahkan penelitian yang dilakukan, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut : Terdapat hubungan positif antara persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan sikap guru pada proses pembelajaran di SMU Negeri Kabupaten Kuningan.


[1] George R. Milton. 1991. Human behavior in organization Tree levels of behavior. Englewood Cliffs, N J : Prentice-Hall Inc., h. 56

[2] Paul. F Secord, Bachman, Carl. W. 1964. Social psichology , New York : Mc. Graw-Hill Book Comapy, h. 89

[3] Witherington, H.C. 1986. Psikologi Pendidikan , Jemmars, Bandung, h. 113

[4] Jalaludin Rahmad. 1986. Psikologi Komunikasi , Remaja Karya, Bandung, h. 49-50

[5] W. Jack Duncan. 1981. Organizational Behavior, Houghton Mifflin Company, Boston, h. 91

[6] Yanto Subiyanto, op cit, h. 38

[7] Robins P., Stephen. 1996. op cit , h. 173

[8] Jalaludin Rahmad, loc cit.

[9] Adam Ibrahim Indrawujaya. 1983. Perilaku Organisasi, Sinar Baru Bandung, h. 39

[10] Rooijakkers, Ad. 1991. Mengajar Dengan Sukses, Jakarta: Grasindo, h. 95

[11] Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah, op. cit., h. 34

[12] Ibid., h. 11

[13] Djam’an Satori. 1980. Administrasi Pendidikan , Publikasi FIP IKIP Bandung, h.36

[14] Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, Depdikbud., Jakarta, 1994, h. 3

[15] Ibid, hal 4

[16] Nasution, S. 1982. Didaktik Asas-Asas Mengajar, Bandung: Jemmars, h.8

[17] Dunkin, Michael J., Biddle, Bruce j. 1974. The Study of Teaching, Holt, Rinehart and Winston, Inc. h.98

[18] Dunkin, Michael J., Biddle, Bruce j., loc. cit

[19] Dunkin, Michael J., Biddle, Bruce j., loc. cit

[20] Nasution. S., Prof. Dr. M.A.. 1983. Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars, , h. 105

[21] Modul II : Alat Penilaian Kemampuan Guru, Depdikbud, Jakarta, 1982, h. 5

[22] Eggen, Paul. P., Kauchak, Donald. P. & Robert, J. 1986. Strategy for teaching, Information processing in the classroom, Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall,Inc, h. 125

[23] Hasibuan, J., dan Mudjiono. 1986. Proses belajar mengajar, Bandung: Remaja Karya, , h. 15

[24] Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah, op cit., h. 9

[25] Robbins P., Stephen, op cit., h.124

[26] Muh. Said, Junimar Affan. 1990. Psikologi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung Jemmars, h.45

[27] Buku II C AKTA IV. 1984. h. 22

[28] Robbins P., Stephen, loc cit . 124

[29] Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah, op. cit., h. 43

[30] Hadari Nawawi. 1985. Administrasi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, h. 33

[31] Locke, A. Edwin & Association. 1997. Esensi Kepemimpinan, Spektrum, h. 3

[32] Turney, C. (et al), The School Manager, Australia: Allen and Unwin, h. 48

[33] Richard Beckhard. 2000. The Leader Of the Future, , Jakarta: Gramedia, h. 125-126

[34] Idochi, op cit, h. 26

[35] Boone, Louis E., David L Kurtz. 1984.. Principles of Management, New York: Random House Inc. h. 101.

[36] Ibid. h. 102

[37] George R. Terry. 1986. Asas-Asas Manajemen, Terjemahan Winardi, Bandung:Alumni. h. 233

[38] Ibid. h. 233

[39] George R. Terry, op. cit., h. 313.

[40] C. Turney (et al), op. cit., h. 240.

[41] C. Turney (et al), op. cit., h. 248.

[42] Panduan Manajemen Sekolah, Depdiknas. 2000. h. 15

[43] Idochi Anwar. 2001. Materi Kuliah: Manajemen Pendidikan, Program Magister, UHAMKA

[44] Kepemimpinan Pendidikan, Depdiknas.,.1999. h. 3

[45] Idochi Anwar, op cit., h.35

[46] Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 47

[47] Stephen P. Robins, op cit, h. 4-5

[48] Turney, C. (et al), op cit., h. 11

[49] Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah.1999. Supervisi Pendidikan, Depdikbud, Jakarta, h. 2-3

[50] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan, Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, h. 136

[51] Robbins, Stephen P., op cit., h. 198

[52] Muhibbin Syah, loc cit.

[53] Turney, C. (et al), op cit., h. 61

126 Kohler, Jerry. W. 1978. Organization Comunication, New York: Rinehart and Winston, h. 76

127 Milton, George. R.. 1981. Human behavior in organization tree levels of behavior. England Cliffs, N.J : Prentice-Hall Inc., h. 112

Tinggalkan komentar