Bab 1- Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Proses pendidikan merupakan sebuah proses yang dengan sengaja dilaksanakan semata–semata bertujuan untuk mencerdaskan. Melalui proses pendidikan akan terbentuk sosok–sosok individu sebagai sumber daya manusia yang akan berperan besar dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Oleh karena itu peran pendidikan demikian sangat penting sebab pendidikan merupakan kunci utama untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.­[1]

Hubungan antar proses pendidikan dengan terciptanya sumber daya manusia merupakan suatu hubungan logis yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan pengertian pendidikan itu sendiri. Mc. Donald memberikan rumusan tentang pendidikan : “… is a process or an activity which is directed at producing desirable in the behavior of human beings.”[2] Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan menghasilkan perubahan tingkah laku manusia. Secara sederhana,

perubahan tingkah laku yang terjadi disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tiga unsur meliputi unsur kognitif, afektif dan psikomotor ( Taksonomi Bloom ).

Pendapat lainnya, yaitu pendapat Mc. Donald yang didalammnya sejalan dengan pendapat Winarno Surakhmad yang mengemukakan bahwa:

Pendididkan atau dipersempit dalam pengertian pengajaran, adalah satu usaha yang bersifat sadar tujuan, dengan sistematis terarah pada perubahan tingkah laku. Menuju ke kedewasaan anak didik. Perubahan itu menunjuk pada suatu proses yang harus dilalui. Tanpa proses itu perubahan tidak mungkin terjadi, tanpa proses itu tujuan tak dapat dicapai. Dan proses yang dimaksud di sini adalah proses pendidikan.[3]

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989, menyebutkan bahwa : “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.” [4]

Dari beberapa pengertian tentang “pendidikan” sebagaimana dikutif tersebut di atas sangat jelas bahwa pendidikan suatu kegiatan dalam upaya untuk mengubah tingkah laku objek didik ke arah positif. Pendidikan merangkum segi-segi intelektual, afektif dan psikomotorik manusia, juga menyentuh cipta rasa dan karsa. Pendidikan juga merangsang pikiran-pikiran, perasaan dan kehendak manusia untuk bertindak secara bijaksana dengan mempertimbangkan lingkungan.

Pada dewasa ini, upaya-upaya pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan telah menjadi bahan wacana dan pemikiran para pakar pendidikan di

Indonesia sehubungan dengan masih sangat rendahnya mutu pendidikan pada saat ini. Mutu pendidikan yang diharapkan pada setiap jenjang sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum/Kejuruan (SMU/SMK), sampai dengan Perguruan Tinggi (PT), minimal dapat mencapai tingkat ketercapaian tujuan pendidikan berdasarkan pada standar-standar tertentu.

Penetapan standar kompetensi siswa sebagai standar pencapaian minimal dari hasil proses pendidikan dilatarbelakangi oleh suatu harapan agar dapat tercipta pemerataan mutu minimal sebagai hasil proses pendidikan pada sekolah menengah umum. Hal ini menunjukkan satu kenyataan bahwa hasil pendidikan di Indonesia

setelah lebih setengah abad kemerdekaannya, masih belum mencapai hasil yang diharapkan. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional sangat menyadari tentang kenyataan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, seperti pernyataan berikut ini :

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan., khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, . . . Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.[5]

Kondisi pendidikan di Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, apabila dihubungkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Manan Akhmad mengenai : “Proyeksi Pergeseran Mutu Sekolah Menengah Umum Tahun 1999/2000 – 2003/2004” dengan indikator pengukuran berdasarkan Nilai Ebtanas Murni, menyimpulkan bahwa :

Menjelang berakhirnya Repelita VI masih banyak jumlah SMU yang rata-rata NEM-nya tergolong dalam klasifikasi “sangat kurang” dan “kurang”. Ini menjadi pertanda masih adanya kesenjangan antara mutu yang hendak dicapai dengan mutu yang dapat dicapai sampai saat ini.[6]

Berbicara mengenai keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia dengan berbagai indikatornya, memang tidak akan habis-habisnya. Tetapi yang lebih penting dari pada itu adalah bagaimana cara mengatasinya.

Konfrensi yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 23-24 Pebruari 1999 yang dihadiri Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia dengan tema : “Pendidikan Indonesia Mengatasi Krisis-Menuju Pembaharuan”, melahirkan beberapa rangkuman diskusi dalam hubungannya dengan persoalan pendidikan di Indonesia antara lain mengenai perlunya pemahaman dan pengkajian tentang visi, misi dan tujuan pendidikan nasional.[7]

Visi pendidikan nasional secara makro adalah terwujudnya masyarakat madani sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia baru dengan tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses pendidikan. Masyarakat Indonesia baru tersebut memiliki sikap dan

wawasan keimanan dan akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi manusia, dan punya pemahaman serta berwawasan global, sedangkan visi mikro pendidikan nasional adalah terwujudnya individu manusia Indonesia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi manusia, saling pengertian dan berwawasan global. Untuk mencapai visi pendidikan nasional tersebut, dijabarkan misi pendidikan nasional yang menjangkau rentang waktu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.[8]

Pertanyaan penting yang harus dicari jawabannya adalah : Apa dan bagian mana yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini ?

Berdasarkan pengamatan dan anilisis yang dilakukan, Departemen Pendidikan Nasional menyimpulkan sebagai berikut :

….sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen … Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi … Faktor ketiga , peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.[9]

Untuk meningkatkan mutu pada bidang pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu masukan pendidikan, mutu sumber daya pendidikan, mutu guru dan pengelola pendidikan, mutu proses pembelajaran, sistem ujian dan pengendalian mutu, serta kemampuan pengelola pendidikan untuk mengantisipasi dan menangani berbagai pengaruh lingkungan pendidikan.[10]

Tanpa mengabaikan peranan faktor penting lainnya, mutu guru telah ditemukan oleh berbagai studi sebagai faktor yang paling konsisten dan kuat

dalam mempengaruhi mutu pendidikan.­­[11] Bahkan salah satu poin dari hasil Konfrensi Khusus Antar Pemerintah mengenai status guru yang diselenggerakan Oleh UNESCO/ILO pada tahun 1966 di Paris menyebutkan bahwa :

“Harus diakui bahwa kemajuan dalam pendidikan dan sebagian besar bergantung kepada kewenangan dan kemampuan staff pendidikan pada umumnya dan kepada mutu paedagogis serta teknis insani dari guru-guru seorang demi seorang.” [12]

Guru yang bermutu adalah mereka yang mampu membelajarkan murid secara efektif, sesuai dengan kendala, sumber daya, dan lingkungannya. Di lain pihak, upaya menghasilkan guru yang bermutu juga merupakan tugas yang tidak mudah. Mutu guru juga berarti tenaga pengajar yang mampu melahirkan lulusan yang bermutu, sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Di lain pihak, mutu guru sangat berkaitan dengan pengakuan

masyarakat akan status guru sebagai jabatan profesional.

Sikap keragu-raguan terhadap mutu profesi guru dewasa ini sering terlontar dikalangan masyarakat, merupakan akibat dari persiapan tenaga guru yang belum memadai. Banyak pihak yang mengungkapkan bahwa mutu profesi guru cenderung belum didasarkan pada konsep yang jelas dan konsisten agar memperoleh pengakuan khusus dari masyarakat. Untuk menjawab tantangan ini, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam kongresnya yang ke XIII di Jakarta telah menghasilkan keputusan penting bagi peningkatan citra dan mutu guru, yaitu “Kode Etik Guru”. Kode Etik Guru merupakan pedoman dasar bagi guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Uraian Kode Etik Guru sebagai berikut :

1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.

2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuruan profesional.

3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.

4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.

5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid masyarakat disekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.

6. Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu martabat profesinya.

7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.

8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.

9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.[13]

Dari pengalaman selama ini dalam meningkatkan kemampuan guru diperoleh kesimpulan bahwa guru yang bermutu ialah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa guru yang bermutu diukur dengan empat faktor utama yaitu : (1) kemampuan profesional; (2) upaya profesional; (3) waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional; dan (4) kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya.[14]

Dalam hubungannya dengan permasalahan yang diangkat sebagai bahan penelitian, yaitu permasalahan yang berhubungan dengan unsur personil sekolah, yaitu guru. Guru sebagai tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan

kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.[15] Guru harus secara efektif memberikan dorongan dan bantuan pencarian informasi pendukung tesis moralitas global. Belajar informasi oleh guru, dimaksudkan bukan sebatas penyediaan bahan pengajaran bagi pemenuhan kebutuhan emosi dan kesadaran siswa, tetapi juga membentuk sikap mandiri dan mempengaruhi perilaku kehidupan serta disiplin sekolah mereka.[16]

Guru merupakan unsur penting dan berpengaruh dalam proses pendidikan dan pengajaran. Tenaga guru merupakan tenaga yang penting yang tidak boleh, tidak ada. Bagaiamanapun baiknya unsur lain, tetapi bila tidak didukung oleh unsur guru yang profesional maka pelaksanaan program pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Kunci keberhasilan pelaksanaan program

pendidikan dan pengajaran sangat ditentukan oleh guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.

Guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan tercermin dalam sikap mental sarta komitmennya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas profesional melalui berbagai cara dan strategi. Guru akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa memberikan makna profesional.[17]

Kata “profesi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diberi arti “bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keakhlian (keterampilan, kejuruan, dsb.) tertentu.”[18] Profesionalisme adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan profesionalnya.[19]

Sikap profesional dan perilaku guru akan mewarnai bentuk-bentuk proses pembelajaran yang terjadi. Guru sebagai pengemban tugas langsung bertatap muka dengan siswa dapat membimbing aktivitas belajar siswa, dan harus mampu menciptakan suasana belajar yang dapat mendorong siswa belajar dengan baik.

Sikap guru pada proses pembelajaran cenderung mempengaruhi perilaku guru dalam mengajar, sedangkan perilaku guru dalam mengajar akan mempengaruhi siswa dalam belajar. Tingkah laku guru akan mempengaruhi tingkah laku siswa. Siswa secara terus menerus mereaksi sikap, nilai dan kepribadian guru. Bila sikap guru terhadap pengajaran negatif, guru cenderung melakukan tugas mengajar menjadi sekedarnya dan tidak serius. Hal ini akan mempengaruhi pula kepada suasana belajar siswa di kelas. Siswa menjadi kehilangan motivasi untuk belajar. Akibatnya hasil belajar siswa menjadi tidak memuaskan. Lain halnya dengan keadaan sikap positif pada proses pembelajaran, guru akan cenderung melakukan tugas mengajar dengan baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Dampaknya sangat positif bagi situasi belajar siswa sehingga diharapkan akan berdampak positif bagi hasil belajarnya.

Hubungan guru-siswa merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari kegiatan pengajaran. Keduanya berada pada satu situasi dan kondisi yang sama dengan tujuan mengubah (guru) dan berubah (siswa). Antara guru dengan siswa harus terjadi interaktif yang harmonis dan serasi.

Sikap guru terhadap pelaksanaan tugas profesional dalam kegiatan pengajaran dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar. Faktor dari luar yang dapat mempengaruhi dan membentuk sikap guru pada proses pembelajaran, diantaranya adalah bagaimana persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah. Unsur tersebut berkemungkinan sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan tugas profesional dalam kegiatan pembelajaran sebab kepala sekolah merupakan pimpinan sekolah dan atasan langsung daru guru-guru.

Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian dengan harapan pengetahuan tentang hal tersebut dapat mendorong terciptanya sikap positif guru terhadap proses pembelajaran. Dengan demikian diharapkan sikap positif guru terhadap proses pembelajaran dapat mendorong pula terciptanya iklim proses pendidikan dan pengajaran di kelas yang dapat memperlacar pencapaian tujuan yang diharapkan, yaitu out put yang bermutu.

A. Identifikasi Masalah

Sikap guru terhadap proses pembelajaran, akan mewarnai perilaku guru dalam melaksanakan tugas mengajar. Sedangkan mengajar merupakan tugas utama seorang guru yang wajib berdampak positif untuk dirinya dan siswa, baik guru berperan sebagai fasilitator, pembimbing maupun sebagai pencipta lingkungan belajar. Proses pembelajaran itu merupakan proses interaksi akademis antara

guru dan siswa ditempat, pada waktu dengan isi yang diatur sedemikian rupa oleh sekolah dengan aspek-aspek pokok yang terddiri dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Kelancaran proses pendidikan dan pengajaran di sekolah banyak ditentukan oleh sikap dan perilaku guru dalam melaksanakan tugas mengajar. Persepsi guru terhadap kepemimpinan sekolah diperkirakan berpengaruh pula terhadap bagaimana perilaku kepala sekolah dalam memimpin guru-guru dan pegawai lainnya di sekolah, misalnya apakah guru merasa bahwa kepala sekolahnya dalam memberikan tugas-tugas tertentu kepadanya diikuti dengan arahan-arahan yang jelas dan konsisten; apakah guru-guru merasa bahwa kepala sekolahnya cukup memberikan bimbingan kepada guru-guru dalam melaksanakan tugas; apakah guru merasa bahwa kepala sekolahnya bertindak cukup baik dalam mengawasi guru-guru dalam bertugas.

Kondisi sebagaimana disebutkan di atas, memang memungkinkan menjadi bahan wacana sehubungan dengan adanya beberapa tipe kepemimpinan. Tipe-tipe kepemimpinan menurut Manley Jones seperti dikutif oleh Lindung Hutagalung terdiri atas tiga tipe kepemimpinan, yaitu :

1. Otokratik, pemimpin yang betindak keras, kekuasaan terpusat dan bawahan dianggap harus mengikuti kemauannya atau hanya sebagai pengikut yang melaksanakan apa yang diperintahkan.

2. Demokratik, yaitu pemimpin yang mengikut sertakan bawahan didalam pengambilan keputusan (terutama sebagai sumber informasi) dan kesepakatan merupakan dasar kepemimpinannya.

3. Lepas tangan (leisse fair), yaitu pemimpin yang menyerahkan hampir seluruh kepemimpinannya pada bawahannya. Di sini paling berperan adalah bawahan.[20]

Berdasarkan uraian tersebut di atas timbul pertanyaan, benarkah persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah mempunyai hubungan yang berarti dengan sikap guru pada proses pembelajaran. Kepemimpinan kepala sekolah yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi kegiatan kepala sekolah dalam mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mengawasi guru-guru dalam bertugas.

Dari uraian di atas maka masalah-masalah yang timbul dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Tipe dan gaya kepemimpinan yang bagaimanakah yang dapat mendorong terbentuknya sikap positif guru pada proses pembelajaran ?

2. Mengapa kepemimpinan Kepala Sekolah dapat mempengaruhi sikap guru pada proses pembelajaran ?

3. Apakah kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan faktor dominan yang menyebabkan baik atau buruknya sikap guru pada proses pembelajaran ?

4. Mengapa faktor kepemimpinan Kepala Sekolah dan guru dapat menentukan kualitas pendidikan ?

5. Seberapa besarkah pengaruh kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap pembentukan sikap guru pada proses pembelajaran ?

6. Apakah sikap guru pada proses pembelajaran sebagai penyebab langsung baik atau buruknya pencapaian hasil pembelajaran ?

7. Benarkah terbentuknya sikap guru pada proses pembelajaran dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan Kepala Sekolah dan lingkungan kerja ?

8. Benarkah kondisi rendahnya kualitas pendidikan pada saat ini, salah satu diantaranya disebabkan oleh buruknya sikap guru pada proses pembelajaran ?

C. Pembatasan Masalah

Melaksanakan proses pembelajaran yang ditandai dengan terjadinya proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah merupakan salah satu kegiatan utama dari tugas profesional seseorang yang berprofesi sebagai guru. Dua tugas lainnya menurut Dr. Nana Sudjana adalah sebagai pembimbing dan administrator kelas.[21]

Sebagai pengajar lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, disamping menguasai iolmu atau bahan yang akan diajarkannya. Sebagai pembimbing memberi tekanan kepada tugas dalam memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan tugas mendidik sebab tidak hanya berkenaan dengan penyampaian ilmu pengetahuan tetapi juga menyangkut pengembangan

kepribadian dan pembentukan nilai – nilai para siswa. Sebagai administrator kelas, pada hakikatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya. Tetapi ketatalaksanaan bagi seorang guru lebih mengutamakan ketatalaksanaan bidang pengajaran.[22]

D. Sudjana S. menjelaskan bahwa secara ideal, pendidik diantaranya guru, pembimbing, pelatih, penyuluh, tutor, pamong praja berperan sebagai fasilitator bagi peserta didik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan pembelajaran pada program-program pendidikan sekolah. Keterlibatan itulah yang membedakan antara satu dengan lainnya. Sedangkan guru dalam pendidikan pada umumnya berperan utama dalam kegiatan mengajar, karena program dan materi pelajaran sering disusun dan ditentukan oleh pihak luar.[23]

Walaupun kegiatan pengajaran merupakan tugas pokok profesi guru, ternyata dalam pelaksanaannya tidak luput dari banyak faktor yang mempengaruhi sehingga tingkat kelancaran dalam mencapai tujuan yang diharapkanpun terpengaruh pula. Faktor yang mungkin mempengaruhinya adalah faktor sikap guru itu sendiri. Sikap guru pada proses pembelajaran mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern, seperti kebutuhan individu,

kepribadian, informasi yang diperoleh mengenai objek sikap, kelompok tempat individu berafiliasi, kepemimpinan kepala sekolah dan lingkungan kerja.

Penelitian terhadap semua aspek yang mempengaruhi sikap guru pada proses pembelajaran sulit dilakukan sekaligus karena banyak faktor yang mungkin mempengaruhinya. Penelitian ini dibatasi pada dua faktor yang mungkin berpengaruh sekali terhadap sikap guru pada proses pembelajaran, yakni persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dan persepsi guru terhadap lingkungan kerja sekolah. Dengan kata lain, penelitian ini mencakup tiga variabel, yaitu : Pertama, persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah (X1) sebagai variabel bebas; Kedua, sikap guru pada proses pembelajaran (Y) sebagai variabel terikat.

Aspek-aspek yang diteliti berkenaan dengan kepemimpinan kepala sekolah dibatasi pada kegiatan kepala sekolah dalam mengarahkan, membimbing, memotivasi, dan mengawasi guru-guru dalam bertugas.

Penelitian dilaksanakan di SMU Negeri di Kabupaten Kuningan. Meskipun di Kabupaten Kuningan terdapat beberapa SMU Swasta, peneliti berpendapat bahwa perbedaan pengelolaan SMU Negeri dengan SMU Swasta akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku guru-guru yang diangkat oleh yayasan penyelenggara SMU Swasta. Untuk menghindari perbedaan-perbedaan tersebut, penelitian ini hanya dilaksanakan di SMU Negeri.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, maka persoalan yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan antara persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan sikap guru pada proses pembelajaran di SMU Negeri Kabupaten Kuningan.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap seluas-luasnya tentang sebagian dari faktor yang erat kaitannya dengan sikap guru pada proses pembelajaran. Hasil penelitian yang dapat terungkap diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam mengatasi persoalan rendahnya kualitas pendidikan, khususnya untuk :

1. Dinas Pendidikan, khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan yang membawahi seluruh persekolahan, dalam penyusunan berbagai program terutama program yang erat kaitannya secara langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan menjadi lebih terarah dan tepat sasaran.

2. Kepala Sekolah, diharapkan dapat menciptakan iklim kepemimpinan yang dapat menunjang terhadap kelancaran proses pendidikan dan pembelajaran yang dapat memberikan kontribusi terhadap upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.

3. Bagi guru-guru, diharapkan dapat dijadikan sebagai motivasi untuk dapat menghasilkan out put yang bermutu melalui proses pembelajaran bermutu pula.

4. Hasil penelitian ini pun diharapkan dapat merangsang peneliti-peneliti lain untuk mencoba mengungkapkan lebih jauh mengenai aspek-aspek lain yang berhubungan dengan sikap guru pada proses pembelajaran.

5. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan dan masukan kepada semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.


[1] Sintong Silaban (ed.). 1993. Pendidikan Indonesia Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan Swasta, Bagian IV, Jakarta: Dasamedia Utama, h., 65

[2] Mc. Donald. 1995. Education Psychology, San Francisco: Wadsworth Publising Company, Inc.h.4-6

[3] Winarno Surakhmad. 1979. Metodologi pengajaran Nasional, Bandung: Jemmars, h. 13

[4] Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1

[5] Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, h. 3

[6] Abdul Manan Akhmad. 1999. Proyeksi Pergeseran Mutu Sekolah Menengah Umum Tahun 1999/2000- 2004/2004, Jurnal Pendididkan dan Kebudayaan, Tahun ke-5, No. 020, Badan Peneliti dan Pengembangan, Depdiknas, Jakarta, h. 105

[7] A. Azis Wahab. 1993. “Pokok-pokok Pikiran Tentang Model Alternatif Implementasi Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi dan Otonomi Daerah” Proyek Peningkatan MutuSMU Jawa Barat, h., 3

[8] A. Azis Wahab, loc. cit.

[9] Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

[10] Wardiman Djojonegoro, op. cit., h. 374

[11] Wardiman Djojonegoro, op. cit., h. 375; Depdikbud. 1999. Pembinaan Profesi Guru dan Psikologi Pembinaan Personalia.. Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah, Jakarta, h. 8; Badan Penelitaian dan Pengembangan, Depdiknas.. 1999. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, h. 6; Program Pasca Sarjana, UHAMKA. 2000. Matahari, Jurnal Pendidikan & Manajemen PPs UHAMKA, Vol. I, No. 4, h. 17

[12] Hasil Konferensi Khusus Antar Pemerintah Mengenai Status Guru, UNESCO/ILO, 21 September s.d. 5 Oktober 1966 di Paris

[13] Keputusan Kongres PGRI ke-XII, 21 s.d. 25 Nopember 1973 di Jakarta. Disempurnakan pada Kongres PGRI ke-XVI, Tahun 1989 di Jakarta.

[14] Wardiman Djojonegoro, op. cit., h. 375

[15] Undang-Undang Republik Indonesia, op. cit., pasal 27

[16] Idochi Anwar. 2000. Adminiatrasi Pendidikan, Teori, Konsep & Issu, Program Pascasarjana UPI, h., 10 – 11

[17] Materi Latihan Calon Kepala Sekolah, op. cit., h., 5

[18] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 3001, h. 877

[19] Materi Latihan Calon Kepala Sekolah, loc. cit.

[20] Lindung Hutagalung, Lili Ruslia. 1990. Dasar-dasar Manajemen, STHB, Bandung, h. 79

[21] Nana Sudjana. 1987. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru, h. 14

[22] Ibid., h. 15

[23] Sudjana s., D, op, cit., h. 183

Satu pemikiran pada “Bab 1- Pendahuluan

Tinggalkan komentar