Bab 2- Deskripsi

A. A. Deskripsi Teoritik

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perspektif teori yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Perspektif teori dapat membantu peneliti dalam memihlih dan memahami aspek-aspek masalah yang diteliti. Di samping mengemukakan perspektif teori, dalam bab ini juga menyajikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini. Adapun perspektif teori yang akan dikemukakan dalam bab ini adalah tentang (1) kepemimpinan, (2) iklim organisasi, dan (3) perilaku belajar.

1. Kepemimpinan dalam Konteks Administrasi Pendidikan

Upaya pemanfaatan sumber daya pendidikan melibatkan berbagai proses dan fungsi dari Administrasi Pendidikan. Proses atau fungsi tersebut dikemukakan secara berbeda-beda oleh para ahli, walaupun terdapat beberapa kesamaan. Pada intinya, proses atau fungsi dari Administrasi Pendidikan tersebut oleh Engkoswara (1987) dikelompokkan atas tiga, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, dan pembinaan/pengawasan. Proses tersebut dikatakannya sebagai wilayah kerja Administrasi Pendidikan. Dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka kepemimpinan berada pada konteks fungsi pelaksanaan, tepatnya penerapan kepemimpinan yang dilakukan oleh administrator (dalam hal ini adalah guru). Fungsi pelaksanaan tersebut, secara skematis dapat dilihat seperti berikut :

P

PR

PL

PNG

M

S

F

M

S

F

M

S

F

PERENCANAAN

PELAKSANAAN

X

PEMBINAAN

X

Gambar 3. Wilayah Kerja Administrasi Pendidikan

Keterangan :

PR = Perencanaan

PL = Pelaksanaan

PNG = Pembinaan/Pengawasan

M = Manusia; murid, guru, atau atasan, dan orangtua siswa

S = Sumber belajar

F = Fasilitas

P = Pendidikan

Sumber : Engkoswara, (1987), Dasar-dasar Administrasi Pendidikan, Jakarta : P2LPTK.

Dalam proses atau fungsi tersebut tercakup pula kegiatan kepemimpinan dari seorang administrator, guna pencapaian tujuan pendidikan, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada (manusia, sumber belajar, dan fasilitas). Dalam kegiatan ini diperlukan kegiatan mempengaruhi orang-orang (pengikut) ke arah pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Di antaranya para pakar yang mengemukakan berbagai proses atau fungsi Administrasi Pendidikan itu, Sergiovanni, dkk. (1987) secara tegas dan eksplisit menampilkan kepemimpinan sebagai salah satu proses administratif. Hal ini sangat beralasan, karena usaha mempengaruhi orang-orang (pengikut) dan pendayagunaan unsur pendukung dalam pencapaian tujuan pendidikan memerlukan pengelolaan yang efektif. Untuk maksud tersebut, jelas bahwa peranan kepemimpinan memegang peranan yang penting.

Penyelenggaraan pendidikan melibatkan sejumlah sumber daya pendidikan, terutama guru dan murid yang mempunyai tujuan secara bersama-sama dan sendiri-sendiri yang akan dicapainya, di samping tujuan sekolah yang terlibat dalam proses kerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk menjadikan usaha kerja sama itu berjalan secara efektif dan efisien maka diperlukan pengaturan tugas dan peran guru maupun siswa, sehingga proses belajar mengajar yang baik dapat tercipta. Di sinilah letaknya fungsi kepemimpinan dalam penyelenggaraaan pendidikan (khususnya pada tingkat mikro/kelas).

Kegiatan kepemimpinan itu adalah mempengaruhi, mengarahkan, dan mengendalikan perilaku manusia, maka dirasa perlu melengkapi uraian ini dengan kajian tentang perilaku kepemimpinan. Hal ini dimaksudkan agar kepemimpinan guru dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar khususnya dapat diarahkan kepada upaya pencapaian tujuan dari kegiatan pengajaran itu sendiri. Untuk itu diharapkan munculnya sifat-sifat kepemimpinan yang efektif seperti mandiri, kreatif , dan adaptif dalam menghadapi berbagai permaslahan. Dalam hal ini, Kartini Kartono mengemukakan bahwa fungsi kepemimpinan dalam pendidikan itu antara lain adalah :

…mengembangkan dan menyalurkan kebebasan berpikir, mengeluarkan pendapat, baik secara perorangan maupun secara kelompok, mengembangkan suasana kerja sama yang efektif dengan memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap kemampuan orang-orang yang dipimpin, mengusahakan dan mendorong terjadinya pertemuan pendapat dengan sikap harga menghargai, dan membantu menyelesaikan masalah-masalah, baik yang dihadapi secara perorangan maupun kelompok .16

2. Konsep Dasar Kepemimpinan

Perkembangan ilmu manajemen dewasa ini ternyata tidak lagi terbatas pada dunia bisnis saja tetapi berkembang juga dalam implementasinya dalam bidang organisasi pendidikan, organisasi pemerintahan, organisasi proyek-proyek, organisasi bidang hukum ataupun organisasi lainnya, maka masalah kepemimpinan pun tak akan terlepas, serta akan mengikuti perkembangannya. Banyak isu yang mengatakan bahwa kegagalan ataupun keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh pemimpin. Hal ini tak dapat diragukan lagi, sebab telah banyak hasil-hasil study yang menunjukkan bahwa pola atau gaya kepemimpinan yang terdapat dalam setiap organisasi merupakan faktor yang berhubungan dengan efektivitas organisasi.

Sutemeister mengemukakan ada beberapa faktor determinan terhadap produktivitas kerja antara lain : leadership climate, type of leadership, leaders, dari 33 faktor lain yang berpengaruh.17 Oleh karena itu telah banyak pula usaha-usaha yang dilakukan untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan. Banyak teori yang berfokus pada gaya kepemimpinan interpersonal, di mana dikatakan bahwa pemimpin yang partisipatif akan mendapat dukungan lebih banyak sehingga akan lebih produktif. Di samping itu banyak pula teori yang mencoba untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang dapat menentukan efektif tidaknya kepemimpinan seseorang. Sejauh ini tidak satupun yang dapat mengidentifikasikan hal tersebut di atas secara tepat maka sudah tentu kita harus terlebih dahulu memahami apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan kepemimpinan.

Istilah kepemimpinan diartikan bermacam-macam. Hal tergantung dari sudut pandang dan konteks pengertian para ahli yang mengemukakannya. Beberapa pengertian kepemimpinan yang dikemukakan di bawah ini dikaitkan dengan konteks penelitian yang menjadi sasaran.

Terry mengemukakan bahwa “leading in a necessary of management”18. Selanjutnya dikatakan pula bahwa “leadership is relationship in which one person, the leader, influences others to work together willingly on related task to attain that which the leader”19. Dalam arti bahwa kepemimpinan itu adalah proses mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan seperti yang telah ditentukan terlebih dahulu. Burns mengemukakan bahwa “leadership is influencing followers to act for certain goals that represent the values and the motivations – the wants and needs, the aspirations and expectations – of both leader and followers”20

Lipham mengemukakan bahwa “leadership as the behavior of an individual that initiates a new structure in interaction within a social system by changing the goals, objectives, configurations, procedures, inputs, process, or output of the system21. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan wujud tingkah laku individu dalam interaksi dengan sistem sosial untuk organisasi sangat bergantung pada kepemimpinan yang diperankan oleh seorang pemimpin. Pengertian ini sejalan dengan pandangan Fiedler dalam Stogdil yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut :

Dengan perilaku kepemimpinan dimaksudkan pada umumnya adalah beberapa tindakan khusus, di mana pemimpin itu terlibat dengan cara-cara pengarahan dan pengkoordinasian pekerjaan anggota kelompok. Keikutsertaan dalam tindakan-tindakan ini dapat berupa hubungan kerja yang terstruktur dalam menghadapi atau mengkritik anggota kelompok, dan menunjukkan konsiderasi bagi kesejahteraan dan perasaan-perasaan anggota mereka.22

Lebih lanjut Sondang P. Siagian mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut :

Kepemimpinan sebagai keterampilan dan kemampuan seseorang mempengaruhi perilaku orang lain, baik yang kedudukannya lebih tinggi, setingkat maupun yang lebih rendah daripadanya, dalam berpikir dan bertindak agar perilaku yang semula mungkin individualistik dan egosentrik berubah menjadi perilaku organisasional.23

Pandangan di atas menyatakan bahwa kepemimpinan itu suatu faktor dari seseorang yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan. Efektivitas kepemimpinan seseorang itu tidak semata-mata tertuju kepada bawahan, tetapi secara mendatar dan ke atas.

Agus Dharma mendefinisikan kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan ddalam situasi tertentu.24Influencing the activities of an individual or a group in effort toward goal achievement in given situation”25 .

Carter V. Good memberikan pengertian yang lebih luas tentang apa sebenarnya hakikat kepemimpinan itu dalam dua batasan, sebagai berikut :

1. The ability and readness to inspire, guide, direct or management others.

2. The role of interpreter of interd and objectives of a group the group recognizing and accepting the interpreter as spokesman.26

Konsep di atas mengandung arti tidak lain daripada kesiapan mental yang terwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, megarahkan, dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka berbuat sesuatu, kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut untuk memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pembagi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan, cita-cita atau tujuan-tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu.

Kimball Wiles mengemukakan “leadership is any contribution to the establishment and attainmentof group purposes”27 , yaitu menekankan kepemimpinan itu sebagai suatu sumbangan dari setiap orang yang dapat bermanfaat di dalam penetapan dan pencapaian tujuan group secara bersama.

Selanjutnya, Musaazi mengemukakan bahwa “Leadership is concerned with the implementation of those policies and decisions which assist in directing the activities of an organization towards its specified goals. Thus leadership is the process of influencing the activities and behavior of an individual or a group in efforts towards goal achievement in a given situation”28 .

Kepemimpinan pada dasarnya merupakan proses mempengaruhi perilaku dan aktivitas individu atau kelompok serta menyediakan situasi dalam usaha pencapaian tujuan.

Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian rupa sehingga tercapai tujuan dari kelompok itu yaitu tujuan bersama.

Pengertian umum kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, dan kalau perlu memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh itu selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud atau tujuan tertentu.29

Unsur-unsur yang terlibat dalam situasi kepemimpinan yang dikemukakan di atas adalah :

a. Orang yang dapat mempengaruhi orang lain di satu pihak.

b. Orang yang dapat pengaruh di lain pihak.

c. Adanya maksud-maksud atau tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai.

d. Adanya serangkaian tindakan tertentu untuk mempengaruhi dan untuk mencapai maksud atau tujuan tertentu itu.

Lebih lanjut, Musaazi mengemukakan bahwa kepemimpinan seseorang itu dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kepribadian (personality), perilaku (behaviour), gaya (style), motif dan kebutuhan (needs and motives), serta nilai dan sikap (attitudes and values).30

Sondang P. Siagian menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan motor atau daya penggerak dari pada semua sumber-sumber, dan alat-alat (recourses) yang tersedia bagi suatu organisasi.31

Cara kerja seseorang pemimpin agar supaya proses kepemimpinannya berjalan dengan baik, beberapa langkah yang perlu diperhatikan oleh pemimpin-pemimpin itu adalah sebagai berikut :

a. Hendaknya orang yang menjalankan peranan pemimpin jangan sekali-kali mencari keharuman nama sendiri, dengan memakai bawahannya sebagai alat yang menjalankan rencananya, melainkan harus memperhatikan semangat berkorban dan ketekunan serta gotong royong guna mencapai kemajuan.

b. Pemimpin yang ingin mencapai kemajuan dalam program pendidikan sekolahnya harus menyadari, bahwa hubungan antar manusia yang baik merupakan landasan penting dalam kepemimpinannya.

3. Beberapa Pendekatan dalam Kepemimpinan

Uraian di atas telah dikemukakan beberapa konsep tentang kepemimpinan, yang di dalamnya telah menunjukkan kepada kita bahwa dalam mempelajari masalah kepemimpinan terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang sering digunakan untuk mempelajari kepemimpinan tersebut yaitu 1) pendekatan sifat, 2) pendekatan perilaku, dan 3) pendekatan kontingensi dan situasional.

a. Pendekatan Sifat

Inti dari teori ini adalah bahwa apa yang membuat seorang pemimpin berhasil bersumber dari kepribadian pemimpin itu sendiri. Kepribadian seorang pemimpin pada umumnya ditentukan oleh keberhasilan sifat-sifat jasmani dan rohaniahnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui kaitan antara keberhasilan seorang pemimpin dengan sifat-sifat atau karakteristiknya.

Berdasarkan pada pemikiran tersebut, timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang yang berhasil sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Akan tetapi, hasil-hasil penelitian terdahulu dalam bidang ilmu sosial gagal untuk dapat mengklasifikasikan suatu sifat kepribadian atau sekumpulan kualitas yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan perbedaan antara pemimpin dan yang bukan pemimpin.

Kepemimpinan yang efektif pada dasarnya merupakan salah satu fenomena yang sangat komplek dalam hubungan antar manusia dan merupakan teka-teki yang tak habis-habisnya bagi siapa saja yang ingin memahaminya. Oteng Sutisna mengemukakan sifat-sifat kepemimpinan yang harus dimiliki yaitu 1) kemampuan administrasi yang luas dan pemahaman tentang tujuan, proses, dan teknologi yang mendasari pendidikan, 2) kreatif , 3) komitmen, 4) luwes, dan 5) pandangan jauh ke depan.

Seorang kepala sekolah, guru atau pemimpin lainnya dituntut kreatif dalam menterjemahkan tuntutan filosofis dan ideologis menurut kebutuhan lingkungannya yaitu, kemampuan dan kemampuan berlatih untuk sungguh-sungguh pada suatu hal, memperoleh informasinya, menjaring yang penting, dan menciptakan gagasan baru yang lebih bertanggung jawab terhadap tugasnya serta berusaha meningkatkan kemampuan profesionalnya secara terus menerus. Luwes, dalam arti mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan kondisi baru.

Walaupun demikian, pendekatan sifat ini mendapat kritikan dan banyak kelemahannya untuk diterapkan dalam setiap organisasi, tetapi cukup penting dipertimbangkan dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan. Pendekatan ini telah meletakan dasar untuk munculnya pendekatan lain yang berpusat pada perilaku pemimpin dalam interaksinya dengan orang-orang lain dalam kelompok dan organisasi.

b. Pendekatan Perilaku

Pendekatan perilaku pemimpin memandang bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dari pola tingkah laku, dan bukan dari sifat-sifat pemimpin. Pendekatan ini melihat dan mengidentifikasi perilaku yang khas dari pemimpin dalam mengembangkan pengaruhnya kepada orang lain, asalkan yang bersangkutan mau. Oleh karena itu, dilandasi oleh kemauan, maka setiap pemimpin dapat mempelajari dan mempraktekan kebiasaan-kebiasaan yang konstruktif dalam beramah tamah, pengontrolan diri, menjalankan komunikasi dua arah, melaksanakan pendelegasian wewenang, menghargai pendapat orang lain, serta mau memperhatikan persoalan yang dihargai orang lain.

Guna mendapatkan gambaran tentang perilaku pemimpin dikemukakan pendapat para ahli yang dapat diklasifikasikan melalui beberapa pendekatan dalam kepemimpinan.

1) Studi Kepemimpinan Ohio State University

Studi kepemimpinan ini dilakukan oleh Hemphill dan Coons, yang kemudian oleh Halpin dan Winer pada tahun 1952 untuk mengukur dua dimensi perilaku pemimpin yaitu memprakarsai struktur dan pertimbangan.

Memprakarsai struktur adalah menggambarkan perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja antara pemimpin dengan bawahan dan juga usaha untuk membentuk pola-pola organisasi, salurkan komunikasi, dan prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah menggambarkan perilaku pemimpin yang menunjukkan persahabatan, saling percaya, penghargaan terhadap gagasan bawahannya, dan saling menghormati pada suatu kelompok kerja. Dengan mengkombinasikan dua kelompok struktur dan pertimbangan dapat dibedakan atas empat perilaku yang ditempuh oleh seorang pemimpin yang berperilaku consideration tinggi dan structure tinggi. Kepemimpinan lain terjadi adalah karena structure dan consideration sama-sama tinggi dan sama-sama rendah.

2) Studi Kepemimpinan yang Dikembangkan oleh MichiganUniversity

Pada saat hampir bersamaan dengan Ohio University, Pusat Riset Micihigan University melakukan suatu penelitian. Penelitian ini mengidentifikasikan dua konsep yakni orientasi produksi (production orientastion) dan orientasi bawahan (employee orientation). Pemimpin yang menekankan pada orientasi bawahan sangat memperhatikan bawahan, di mana mereka merasa bahwa setiap karyawan itu penting, dan menerima karyawan sebagai pribadi. Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada produksi sangat memperhatikan hasil dan aspek-aspek kerja untuk kepentingan organisasi, dengan tanpa menghiraukan apakah bawahan senang atau tidak. Kedua ini hampir sama dengan tipe otoriter dan tipe demokrtatis.

3) Managerial Grid

Robert L. Blake dan Jane S. Mouton mengembangkan model kepemimpinan yang disebut managerial grid. Model kepemimpinan ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep teoritis yang dikembangkan oleh Ohio University, Michigan Univeristy, dan teori dinamika kelompok. Managerial Grid merupakan kombinasi orientasi dalam kepemimpinan concern for people and concern for task. Jika disajikan dalam bentuk gambar, kombinasi orientasi kepemimpinan ini tampak seperti berikut :

HIGH 9

1.9

9.9

COUNTRY CLUB MANAGEMENT

TEAM MANAGEMENT

CONCERN

FOR 5

PEOPLE

5.5

ORGANIZATION MAN MANAGEMENT

9.1

1.1

IMPOVERISED MANAGEMENT

AUTHORITY-OBEDIENCE

LOW 0

CONCERN FOR PRODUCTION

0

LOW

5 9

Gambar 4. Managerial Grid (Blake & Mouton)

Sumber:Wahjo Sumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Ghalia, 1987:66.

Gambar tersebut menunjukkan bahwa gabungan dua orientasi kepemimpinan yang berkenaan dengan hasil dan berkenaan dengan manusia, yang menghasilkan lima perilaku, dapat digunakan oleh pemimpin dan ada yang menyebut gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan pertama disebut Country Club Management, yaitu gaya kepemimpinan yang perhatiannya lebih besar kepada hubungan antara kelompok dengan menunjukkan keramah-tamahan dan penuh kegembiraan.

Gaya kepemimpinan kedua disebut Authority Obediene, yaitu kepemimpinan yang otokratik. Pemimpin hanya mau menghiraukan tentang usaha peningkatan efisiensi pelaksanaan kerja, tidak mempunyai atau kurang rasa tanggung jawab pada orang-orang yang bekerja dalam organisasi. Prestasi sangat diharapkan pada gaya ini dan interaksi dilakukan secara kaku sepanjang kekuasaan. Ketepatan waktu biasanya digunakan untuk memotivasi bawahan. Jika terjadi konflik, penyesuaian dilakukan secara organisatoris.

Gaya kepemimpinan yang ketiga disebut Improverished Management, yaitu kepemimpinan yang perhatiannya ditujukan kepada bahwan dan produksi sangat minim. Dalam menjalankan tugas, pemimpin memberikan pekerjaan kepada bawahan dengan membiarkan mereka dalam kesendirian, bersembunyi di balik undang-undang dan peraturan. Pemimpin seperti ini membatasi diri menyampaikan pesan dari atasan.

Gaya kepemimpinan keempat disebut Team Management, yaitu orientasi kepemimpinan terhadap tugas dan manusia sama-sama tinggi. Asumsi yang digunakan adalah tidak ada konflik antara harapan organisasi dan kebutuhan manusia. Pemimpin yang menggunakan gaya ini ingin mencapai kondisi produktivitas yang tinggi dan semangat kerja yang tinggi melalui kerja tim. Karena diasumsikan bahwa jika diberi kesempatan maka manusia akan kreatif. Gaya kepemimpinan ini menekankan partisipan yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan kerja.

Gaya kepemimpinan yang kelima disebut Organization Man Management. Tipe ini mengasumsikan adanya konflik antara kepentingan tugas dan kepentingan manusia, tetapi penyelesaiannya didekati secara kompromi. Dengan kata lain, keseimbangan dicapai antara kepentingan organisasi dan kepentingan individu secara berimbang. Posisi-posisi ekstrim berusaha menghindari dan yang penting ada keseimbangan. Komunikasi dilakukan baik secara formal maupun informal. Tipe ini cocok untuk melaksanakan pekerjaan, tetapi tidak memadai untuk meningkatkan inovasi atau perubahan.

4) Kepemimpinan Kontinum

Robert Tanenbaum dan Waren A. Schmidt mengemukakan gaya kepemimpinan yang dapat dilukiskan sebagai suatu kontinum, adanya kepemimpinan yang berimbang antara penekanan pada perilaku yang otoriter, dan yang menekankan pada perilaku demokratis. Rentangan perilaku tersebut tidak menyatakan perilaku mana yang sesungguhnya, akan tetapi ada dua kutub yang ekstrim yaitu otoritas dan demokratis.

Di antara dua kutub tersebut ada beberapa gaya kepemimpinan yang merupakan kombinasi dari perilaku otoriter dan perilaku demokratis yang tersedia bagi pemimpin. Ia memiliki fleksibilitas sebanyak yang ia inginkan dalam memiliki gaya kepemimpinan yang efektif sesuai dengan situasi tertentu perlu dipertimbangkan tiga hal yaitu : 1) kekuatan-kekuatan yang ada pada pemimpin melatarbelakangi perilakunya, antara lain sistem yang dianutnya, tingkat kepercayaan pada bawahnnya, dan firasatnya terhadap keselamatan bawahan di saat menghadapi ketidakpastian, 2) kekuatan-kekuatan yang ada dari bawahan dapat mempengaruhi perilaku pemimpin, dan 3) kekuatan-kekuatan yang ada pada lingkungan, baik lingkungan sendiri maupun lingkungan masyarakat.

c. Pendekatan Kontingensi dan Situasional

1) Teori Kepemimpinan Situasional

Tentang teori kepemimpinan ini dikembangkan oleh Fiedler dan Chemers, yang menyimpulkan bahwa seseorang menjadi pemimpin bukan saja karena faktor kepribadian yang dimiliki, tetapi juga dipengaruhi faktor stuasi dan saling hubungan antara pemimpim dengan situasi. Keberhasilan pemimpin tergantung pada diri pemimpin maupun pada keadaan organisasi.

2) Kepemimpinan Tiga Dimensi

Teori kepemimpinan tiga dimensi ini dikemukakan oleh William J. Reddin. Teori ini mengemukakan bahwa kepemimpinan yang efektif hanya dapat dipahami dalam konteks situasi kepemimpinan. Maksudnya setiap gaya dari empat gaya yang merupakan dasar kepemimpinan dapat efektif atau tidak efektif tergantung pada situasi. Pada dasarnya gaya kepemimpinan ini sama dengan kepemimpinan Managerial Grid, yaitu ada empat gaya dasar, kemudian akan menjadi gaya kepemimpinan. Kedelapan gaya tersebut adalah :

Gaya dasar integrarted dengan tugas tinggi hubungan tinggi. Akan menjadi gaya eksekutif bila diekspresikan dalam situasi yang efektif, tandanya ialah memenuhi kebutuhan kelompok dalam menetapkan tujuan dan bagaimana mencapainya, memperhatikan hubungan dalam kelompok. Kelompok menjadi kohesif dan bekerja keras. Bila tidak efektif, maka akan menjadi gaya compromiser yang ditandai dengan selalu memecahkan masalah dengan mengadakan kompromi antara tugas dan hubungan, sehingga tidak berorientasi pada hasil yang dicapai.

Gaya separated, yaitu tugas yang tinggi dan hubungan rendah. Apabila efektif akan menjadi gaya bureucrat yakni mendelegasikan wewenang pada bawahan untuk mengambil keputusan tentang apa yang perlu dikerjakan. Apabila tidak efektif akan menjadi gaya deserted yaitu tidak memberikan struktur jelas dan dukungan moral pada waktu diperlukan.

Gaya related yaitu hubungan tinggi dan tugas rendah. Gaya ini menjadi efektif bila menjadi gaya developer yaitu percaya kepada anggota stafnya dan memberikan kemudahan untuk berkembangnya anggota staf dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Bila tidak efektif maka akan menjadi gaya missionary yaitu hanya tertarik pada adanya harmoni, dan kadang-kadang tidak bersedia mengorbankan hubungan meskipun tujuan tidak tercapai.

Gaya dasar dedicated yaitu tugas tinggi dan hubungan rendah, gaya ini bila efektif akan menjadi gaya benevolent autocrat yaitu mempunyai tata kerja yang berstruktur, tetapi jelas tugas untuk bawahan. Bila tidak efektif akan menjadi gaya autocrat yakni semua kebijakan ditetapkan sendiri tanpa memperdulikan bawahan.

3) Teori Kepemimpinan Situasional

Teori kepemimpinan situasional merupakan teori yang dikembangkan oleh Hersey dan Kenneth H. Blanchard. Teori ini merupakan perkembangan yang mutakhir dari teori kepemimpinan dan merupakan hasil baru dari model keefektifan pemimpin tiga dimensi.

Model kepemimpinan tersebut didasarkan pada hubungan garis langsung di antaranya ada tiga faktor, yaitu : 1) perilaku tugas (task behavior), maksudnya kadar bimbingan dan arahan yang diberikan oleh pemimpin, 2) perilaku hubungan (relationship behavior), yaitu kadar dukungan sosio emosional yang disediakan pemimpin melalui komunikasi dua arah, dan 3) kematangan (maturity) yaitu tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam pelaksanaan tugas, fungsi, atau tujuan tertentu.

Dari ketiga faktor tersebut yang paling dominan karena tekanan terutama dari teori ini terletak pada perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan.

Menurut teori kepemimpinan situasional, gaya kepemimpinan yang efektif jika disesuaikan dengan taraf kematangan para bawahan secara kontinyu dan meningkatkan pelaksanaan tugas. Pemimpin hendaknya mengurangi perilaku tugas dan meningkatkan perilaku hubungan sampai bawahan mencapai tingkat rata-rata kematangan, maka pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Keadaan ini berlangsung sampai bawahan mencapai tingkat kematangan penuh di mana mereka sudah dapat mandiri baik dilihat dari kematangan kerjanya maupun kematangan psikologis. Dengan demikian pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang kepada bawahannya.

Sehubungan dengan tingkat kematangan bawahan yang dihubungkan dengan perilaku pemimpin dalam menggerakkan bawahan, di bawah ini dikemukakan empat gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, yaitu :

a) Telling, yaitu perilaku pemimpin dengan tugas tinggi dan hubungan rendah. Pemimpin membatasi peranannya dan menginstruksikan bawahan tentang apa, bagaiamana, bilamana, di mana harus melakukan suatu tugas tertentu. Pemimpin juga memberikan pengarahan yang jelas dan spesifik. Gaya ini sesuai dengan level kematangan yang rendah atau orang yang tidak mampu dan mau.

b) Selling, yaitu perilaku tugas tinggi dan hubungan tinggi. Pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan memberikan dukungan dalam keputusan melalui komunikasi dua arah. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan rendah ke sedang, orang yang tidak mampu tetapi berkeinginan untuk memikul tanggung jawab memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan.

c) Participating, yaitu perilaku hubungan rendah dan tugas rendah. Pemimpin dan bawahan saling tukar menukar ide dalam pembuatan keputusan melalui komunikasi dua arah, dan yang dipimpin cukup mampu serta berpengetahuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada bawahan. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan dari sedang ke tinggi. Orang-orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan, tetapi tidak berkeinginan untuk melakukan suatu tugas yang dibebankan. Ketidakmauan mereka sering kali disebabkan karena kurangnya keyakinan.

d) Delegating, yaitu perilaku hubungan rendah dan tugas rendah. Pemimpin melakukan seperti ini karena bawahan telah memiliki kematangan yang tinggi bahwa dalam melakukan tugas maupun matang secara psikologis. Kegiatan ini melibatkan bawahan untuk melaksanakan tugas sensiri melalui pendelegasian dan supervisi yang bersifat umum. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan yang tinggi, orang-orang yang mampu dan mau, atau mempunyai keyakinan untuk memikul tanggung jawab. Dengan demikian, gaya delegasi ini berprofil rendah, yang memberikan sedikit pengarahan atau dukungan memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling tinggi dengan individu dalam tingkat kematangan tinggi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap pemimpin melakukan gaya ini, hanya pada suatu saat tertentu pemimpin harus mampu mengambil gaya kepemimpinan yang paling tepat dengan kondisi yang terjadi, agar kepemimpinan efektif hasilnya. Pada keadaan tertentu gaya yang satu lebih menonjol dari gaya lainnya, dan ini tergantung pada bawahan yang dihadapi serta pada tingkat kedewasaan mana bawahan tersebut.

Memperhatikan hal tersebut maka sebenarnya tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik, yang ada hanya kepemimpinan yang paling efektif hasilnya, yaitu kepemimpinan yang berhasil menggerakkan bawahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

d. Kepemimpinan Pendidikan

Gaya kepemimpinan adalah pola-pola perilaku konsisten yang mereka terapkan dalam bekerja dengan dan melalui orang lain seperti yang dipersepsikan.32

Hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin akan nampak dalam suatu pola yang menggambarkan tipe kepemimpinan seseorang. Proses hubungan antara seorang yang memipin dengan seorang yang dipimpin juga akan nampak dalam pribadi seorang pemimpin, dan atas dasar inilah maka timbul beberapa tipe atau pola kepemimpinan.

Fiedler mengemukakan ada dua gaya kepemimpinan, yaitu 1) kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan 2) kepemimpinan yang berorientasi pada kemanusiaan (hubungan manusia).33

Sedangkan Robert J. House merumuskan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan sebagai berikut :

1) Kepemimpinan direktif. Gaya ini menganggap bahwa bawahan tahu senyatanya apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan (otokratis).

2) Kepemimpinan yang mendukung. Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah dimengerti, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang tulus terhadap para bawahannya.

3) Kepemimpinan partisipatif. Gaya kepemimpinan ini pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih berada di tangannya.

4) Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi. Gaya kepemimpinan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berprestasi. Demikian pula pemimpin memberikan keyakinan kepada mereka bahwa mereka mampu melaksanakan tugas pekerjaan mencapai tujuan secara maksimal. 34

Pendapat lain menyatakan bahwa tipe atau pola kepemimpinan ini secara umum dikelompokkan atas 3, yaitu “…tipe kepemimpinan yang otokratis, tipe kepemimpinan demokratis, dan tipe kepemimpinan laizes faire35 Demikian juga menurut Musaazi, ia mengemukakan bahwa secara umum tipe dan aktivitas dari pemimpin dapat dibedakan atau digambarkan dalam tiga tipe, yaitu “…tipe kepemimpinan yang otokratis, laizes-faire, dan demokratis.”36

Tipe atau pola kepemimpinan yang otokratis ini, semua kebijaksanaan dasar ditetapkan oleh pemimpin sendiri dan pelaksanaan selanjutnya ditugaskan kepada bawahannya. Semua perintah, pemberian dan pembagian tugas dilakukan tanpa mengadakan konsultasi sebelumnya dengan orang-orang yang dipimpinnya.

Para anggota harus menerima kebijaksanaan dan tugas-tugas itu tanpa ada kebebasan untuk menimbang buruk baiknya akibat positif-negatifnya yang mungkin timbul daripadanya. Mereka harus patuh dan setia kepada pemimpin secara mutlak.

Pemimpin berusaha membatasi hubungan dengan para anggotanya hanya dalam situasi-situasi formal, dan menerima kedatangan bawahan yang hendak meminta bantuan, petunjuk, dan bimbingan atau mengajukan sesuai masalah dengan sikap yang seformal mungkin. Pemimpin tidak pernah menginginkan hubungan yang bersifat keakraban, keintiman dalam suasana ramah tamah, melainkan dipertahankannya untuk selalu dalam suasana hubungan antara majikan dan pekerja antara atasan dan bawahan yang ketat.

Lebih lanjut Musaazi menjelaskan bahwa untuk tipe kepemimpinan yang otokratis, ciri-cirinya antara lain adalah : menentukan sendiri kebijakan dan menyusun tugas-tugas bagi para anggota/bawahan dalam pengambilan keputusan, dan selalu menghindarkan diri dari kelompok.[37]

Tipe kepemimpinan yang otokratis biasanya berorientasi kepada rtugas. Artinya dengan tugas yang diberikan oleh suatu lembaga atau suatu organisasi, maka kebijaksanaan dari lembaganya ini akan diproyeksikan dalam bagaimana ia memerintah kepada bawahannya agar kebijaksanaan tersebut dapat tercapai dengan baik. Di sini bawahan hanyalah sebuah mesin yang dapat digerakan sesuai dengan kehendaknya sendiri, inisiatif yang jarang dari bawahan sama sekali tak pernah diperhatikan.

Jika seorang guru di kelas melaksanakan tipe kepemimpinan ini, di mana guru hanya mementingkan bahan pelajaran dengan mengabaikan anak, yang mana hal ini dapat merugikan anak. Anak-anak sedikit sekali atau bahkan tidak punya kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya. Jelas hal ini akan mematikan inisiatif mereka. Berbagai macam cara akan digunakan oleh guru untuk mengharuskan anak itu belajar, di sekolah maupun di rumah. Dengan menggunakan hukuman dan ancaman, anak itu dipaksa untuk menguasai bahan pelajaran yang dianggap perlu. Pola atau pendekatan seperti ini akan memberikan dampak terhadap perilaku belajarnya, seperti anak menjadi pasif, tidak punya inisiatif, dan tidak berani, dan gurulah yang dianggap selalu paling benar.

Tipe kepemimpinan yang demokratis merupakan tipe kepemimpinan yang mengacu pada hubungan. Di sini seorang pemimpin selalu mengadakan hubungan dengan yang dipimpinnya. Segala kebijaksanaan pemimpin akan merupakan hasil musyawarah atau akan merupakan kumpulan ide yang konstruktif . Pemimpin sering turun ke bawah guna mendapatkan informasi yang juga akan berguna untuk membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan selanjutnya. “The leader attempts as much as he can make each individual feel that he is an important members of the group and that he has some skills or talents to offer towards the success of the organization”.[38]

Sedangkan pada tipe kepemimpinan yang laissez-faire, di mana para anggota/bawahan diberi kebebasan untuk mengerjakan dan mengekspresikan apa yang mereka inginkan, dan aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi tidak begitu jelas (kabur), para anggota baik secara individu ataupun secara kelompok mempunyai kebebasan dalam mengambil keputusan tanpa perlu diarahkan atau partisipasi pemimpin. Musaazi dalam hal ini mengemukakan sebagai berikut : “Laissez-faire is therefore leadership without specific leader. Each individual among the followers can volunteer to do something for the organization whenever he feels inspired to do so”.[39]

Melihat pada konsep di atas terlihat adanya kesamaan dengan tipe kepemimpinan yang demokratis, akan tetapi di dalam tipe kepemimpinan yang laissez-faire, terdapat kebebasan yang tidak ada batasnya, sedangkan pada tipe kepemimpinan yang demokratis itu tetap terdapat keterikatan antara yang dipimpin dengan pemimpin guna mencapai tujuan organisasi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa sesuai dengan sifat keunikan dan kekomplekan daripada manusia, khususnya para pemimpin dan dalam hal ini tekanannya pada guru, terdapat berbagai jenis tipe kepemimpinan. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor, baik yang datangnya dari dalam diri pemimpin bersangkutan dan atau dari luar diri. Walaupun demikian, belum dapat dikatakan bahwa salah satu tipe dari kepemimpinan itu lebih baik bila dibandingkan dengan tipe-tipe yang lainnya, karena banyak faktor yang menyebabkannya.

Guru sebagai seorang pemimpin pendidikan khususnya pemimpin pengajaran, diharapkan mamapu menganalisa situasi dan kondisi lingkungan kerja (kelas) yang dihadapinya agar mereka mampu memerankan tugas kepemimpinannya dengan baik. Dirawat mengemukakan bahwa konsep seorang pemimpin pendidikan tentang kepemimpinannya akan mempengaruhi situasi kerja, moral kerja anggota-anggotanya, sifat hubungan kemanusiaan di antara sesamanya, dan akan mempengaruhi kualitas hasil kerja. Dikaitkan dengan kepemimpinan guru dalam kelas, maka jelas bahwa kepemimpinan guru akan mempengaruhi kualitas hasil kerja. Dikaitkan dengan kepemimpinan guru dalam kelas, maka jelas bahwa kepemimpinan guru akan mempengaruhi suasana atau iklim belajar mengajar yang dilaksanakan, moral dan perilaku belajar siswa serta prestasi siswa.[40]

Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard mengemukakan bahwa pemimpin dan pengikut itu sebenarnya tidak harus selalu berada dalam kedudukan hierarkis; atasan – bawahan, tetapi seorang pemimpin yang berpotensi kiranya dapat bekerja sama dengan pengikut yang berpotensi pula, tak peduli atasan, kolega, dan bawahan.[41]

Jadi kepemimpinan itu sebagai fenomena atau kualitas kegiatan-kegiatan kerja dan interaksi di dalam situasi kelompok, ia merupakan sumbangan dari seseorang di dalam siatuasi-situasi kerja sama. Kepemimpinan dan kelompok adalah merupakan dua hal tak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, tak ada kelompok tanpa adanya kepemimpinan dan sebaliknya kepemimpinan hanya ada dalam situasi interaksi dalam kelompok, seseorang tidak dapat dikatakan pemimpin jika ia berada di luar kelompok.

Kehidupan di kelompok kelas, khususnya di dalam proses belajar mengajar, hubungan antara guru dan murid merupakan hubungan timbal balik yang hendaknya tidak selalu merupakan hubungan hierark, akan tetapi merupakan hubungan yang memungkinkan potensi guru dan potensi siswa kiranya dapat bersama-sama dimanfaatkan dalam proses belajar. Sehingga masing-masing pihak (guru-murid) dapat terlibat secara aktif dalam upaya pencapaian tujuan belajar. Seorang guru dalam kaitannya dengan hal ini, hendaknya membimbing dan mempengaruhi murid-murid melaksanakan kegiatan-kegiatan yang relevan dan efisien. Sehingga kedewasaan murid untuk memecahkan masalah pun merupakan potensi yang perlu diefektifkan.

e. Iklim Organisasi Kelas

Setiap kegiatan adalah tanggung jawab para pelaksana yang akan mengarahkan pada kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, untuk perluasan dan pengembangan kegiatan tersebut diperlukan adanya suatu wadah yang lazim disebut dengan organisasi. Dengan demikian, setiap kegiatan yang dilaksanakan dalam suatu organisasi tidak lain merupakan usaha untuk mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan, dan tentunya tujuan itu dapat dicapai secara efektif dan efisien.

Organisasi adalah sistem kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.[42] Sistem kerja sama tersebut mempunyai struktur dan perencanaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, yang berhubungan satu sama lainnya dengan suatu cara yang terkoordinir dan kooperatif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[43] Secara fungsional, organisasi merupakan sekelompok manusia yang dipersatukan dalam suatu kerja sama yang efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Louis Allen yang dikutip Hendyat Soetopo mengemukakan sebagai berikut : “We can define organization as the process identifying and grouping the work to be performed , defining and delegating responsibility and authority and establishing relationship for the purpose enabling people to work most effectively together in accomplishing objectives”.[44]

Kita dapat merumuskan organisasi sebagai proses menetapkan dan mengelompokkan pekerjaan yang akan dilakukan, merumuskan, dan melimpahkan tanggung jawab dan wewenang serta menyusun hubungan-hubungan dengan maksud untuk memungkinkan orang-orang bekerja sama secara paling efektif dalam mencapai tujuan-tujuan. Organisasi merupakan kelompok orang melakukan berbagai aktivitas ke arah suatu tujuan bersama di bawah komando suatu kepemimpinan.

Beberapa pengertian di atas menggambarkan bahwa terdapat beberapa unsur yang mendukung jalannya suatu organisasi. Di antaranya unsur-unsur tersebut antara lain adalah : adanya sekelompok orang, adanya sktivitas, adanya tujuan, serta sarana dan atau prasarana lainnya.

Sekolah adalah suatu organisasi yang terdiri dari beberapa unsur-unsur yang saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain. dalam organisasi yang disebut sekolah atau lebih khusus lagi kelas, melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. Tujuan tersebut melekat pada tujuan sekolah/kelas sebagai organisasi dan juga tujuan yang melekat pada orang-orang yang menjadi anggota atau penggerak organisasi itu.

Aktivitas atau usaha pencapaian tujuan yang dilakukan oleh sekolah ataupun kelas, akan turut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti misalnya masalah kepemimpinan yang terjadi dalam sekolah/kelas tersebut, sehingga juga menentukan bagaimana kondisi atau iklim daripada organisasinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Hilton bahwa untuk penciptaan iklim organisasi yang efektif salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah kepemimpinan. Jadi organisasi (sekolah ataupun kelas) sebagai suatu sistem yang terstruktur, saling berhubungan, dan adanya koordinasi daripada anggota kelompok akan mempengaruhi terhadap iklim organisasi.

Konsep tentang iklim organisasi telah banyak dikemukakan, dalam hubungannya dengan usaha menganalisis iklim organisasi sekolah atau kelas pada khususnya, terutama dalam kaitannya dengan pola perilaku belajar siswa, maka dalam uraian berikut ini akan dikemukakan beberapa konsep sehubungan dengan hal tersebut di atas.

1) Konsep-konsep tentang Iklim Organisasi

Istilah “iklim organisasi” ditafsirkan secara berbeda-beda oleh para ahli. Menurut Davis dan Newstrom bahwa “…organization climate is the human environment within which an organization’s employee do their work – climate is affected by almost everything that occurs in an organization”.[45] Antara organisasi yang satu akan berbeda dengan organisasi yang lain. perbedaan itu disebabkan karena keunikan sifat organisasi yang lain. Perbedaan itu disebabkan karena keunikan sifat organisasi itu masing-masing. Senada dengan ini Richard M. Steers menyatakan : “…climate may be thought of as the personality of an organization as seen bay its members”.[46] Iklim itu tergantung menurut persepsi para anggota organisasi. Jika anggota atau pekerja merasa bahwa iklim itu terlalu otoriter, maka tindakan pekerja tersebut sesuai dengan anggapannya, walaupun pihak pimpinan organisasi atau perusahaan telah berusaha untuk terciptanya iklim demokrasi dan untuk kepentingan para pekerjanya.

Iklim itu erat kaitannya dengan ciri yang ada pada setiap organisasi, dengan kegiatan organisasi, dengan perilaku pemimpinnya, dan perilaku para pekerjanya. Umumnya ciri-ciri yang dimiliki oleh setiap komponen organisasi sangat menentukan bentuk atau jenis iklim yang akan tercipta.

Istilah environment atau lingkungan menurut Morphet merujuk kepada istilah situasi internal dan eksternal.[47] Lingkungan eksternal mencakup suasana politik dan sosial ekonomi, sementara lingkungan internal atau yang dia sebut sebagai iklim mencakup program-program pendidikan, materi dan prosedur pengajaran, suasana rumah dan sekolah yang baik, hubungan antara murid dan guru-guru yang berkompetensi dan pengertian serta staf sekolah yang tertarik membantu murid. Dalam studi ini, istilah iklim yang akan digunakan lebih mengacu kepada pengertian lingkungan secara internal seperti apa yang dimaksud oleh Morphet.

Ada beberapa istilah yang kadang-kadang digunakan bergantian dengan kata environment, yang diterjemahkan “lingkungan”, seperti feel, atmosphere, tone, culture, dan climate.[48] Dalam studi ini istilah iklim kelas digunakan untuk mewakili kata-kata tersebut di atas dan kata-kata lain seperti leraning environment, educational environment, dan group climate.

Dalam lingkup organisasi menurut Newell iklim mencakup keseluruhan sistem yang meliputi perasaan dan sikap terhadap sistem, subsistem, suprasistem atau sistem lain dari perorangan, tugas-tugas, prosedur, dan segala situasi sebagaimana hubungan-hubungan itu dialami oleh orang-orang dalam situasi itu. Kekhususan atau keunikan seperti inilah yang membedakannya dengan organisasi yang lain.[49]

Menyebut istilah iklim kelompok, Kinney dan Hurst mengatakan bahwa iklim kelompok merujuk pada suasana kejiwaan dan sosial dari anggota kelompok seperti perasaan kesan atau pengaruh sikap, pola hubungan timbal balik, kepemimpinan, dan reaksi terhadap kepemimpinan moral dan prestasi yang dihasilkan dari interaksi kelompok dan kerja sama.[50] Konsep ini yang membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lainnya. Suasana atau iklim yang menyenangkan dapat menyebabkan orang-orang betah berada dalam organisasi tersebut, dan bahkan mereka mau berkorban untuk menjaga dan mempertahankan agar suatu organisasi yang kurang atau tidak menyenangkan para anggotanya, misalnya merasa tertekan, tidak dapat mengemukakan atau mengembangkan kemampuan yang dimiliki akan menyebabkan orang tersebut tidak betah berada di dalamnya. Dengan demikian, suasana atau iklim yang menyenangkan merupakan sine qua non bagi suatu organisasi apapun jenis organisasinya.

Keith Davis mengemukakan pengertian iklim organisasi sebagai the human environment within an organization’s employees do their work.[51] Dari pengertian ini jelas bahwa yang dimaksudkan dengan iklim organisasi itu adalah yang menyangkut iklim organisasi itu adalah yang menyangkut iklim yang ada atau yang dihadapi manusia yang berada dalam suatu organisasi yang mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas keorganisasiannya. Lebih lanjut dikemukakan oleh Keith Davis mengenai unsur-unsur yang mengkontribusi terciptanya kondisi yang favourable. Unsur-unsur tersebut adalah : (1) quality of leadership, (2) amount of trust, (3) communication, (4) feeling of useful work, (5) responsibility, (6) fair reward, (7) reasonable job presures, (8) opportunity, (9) reasonable controls, structure, and beuraucracy, (10) employee involvement, participation.[52]

James L. Gibson dkk. mengemukakan beberapa pengertian tentang iklim itu sendiri, yaitu sebagai berikut :

Climate is determined importantly by characteristics, conduct, attitudes, expectations of other persons, by sociological and cultural realities. It is an indirect determinants of behavior in that it acts upon attitudes, expectations, states of arrousal. Which are direct determinants of behavior. It has potential behavioral concequences…. Climate is a set properties of the work environment and is assumed to be a major force in influencing their behavior on the job.[53]

Kutipan di atas menjelaskan bahwa iklim merupakan seperangkat sifat-sifat lingkungan kerja yang dirasakan langsung atau tidak langsung oleh pekerja, serta diduga punya pengaruh besar terhadap prilaku mereka dalam pekerjaan itu. Rumusan Gibson ini tidak bertentangan dengan rumusan-rumusan yang dikemukakan terdahulu. Di sini dikemukakan bahwa iklim mempengaruhi pekerja, iklim yang dimaksud adalah iklim menurut persepsi pekerja.

Pengertian-pengertian di atas jelas bahwa iklim itu benar-benar sangat erat hubungannya dengan seseorang yang melaksanakan tugas-tugas sehubungan dengan upaya pencapaian tujuan organisasi. Jadi iklim itu berhubungan dengan suatu aspek yang berada di luar diri seseorang dalam suatu organisasi yang diamati secara langsung maupun yang tidak langsung.

Hoy mengatakan bahwa iklim merupakan kualitas dari suasana (sekolah) yang terus menerus dialami oleh guru-guru, mempengaruhi tingkah laku mereka.[54] Dia menambahkan bahwa istilah iklim seperti istilah kepribadian pada manusia. Kalau istilah itu diterapkan pada organisasi , maka iklim organisasi adalah kepribadian dari organisasi itu. Kalau definisi dari Hoy tersebut diterapkan pada kelas, maka iklim kelas berarti kepribadian kelas. Pengertian ini cukup dapat diterima dengan alasan bahwa masing-masing kelas mempunyai ciri (kepribadian) yang tidak sama dengan kelas-kelas yang lain, meskipun kelas itu dibangun dengan phisik dan bentuk atau arsitektur yang sama.

Lebih lanjut dikemukakan (Hoy dan Miskel) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi iklim organisasi, yaitu (1) hindrance, (2) intimacy, (3) disengagement, (4) espirit, (5) production emphasis, (6) aloofness, (7) thrust, dan (8) cinsideration.[55]

Halpin dan Croft secara garis besar mengelompokkan iklim organisasi itu atas dua kelompok besar, yaitu iklim terbuka dan iklim tertutup.[56]

Hal yang membedakan iklim sekolah yang terbuka dan tertutup menyangkut tiga faktor, yaitu : semangat (espirit), pertimbangan (consideration), dan dorongan atau arah tujuan (thrust). Pada iklim organisasi yang terbuka dapat dilihat bahwa aspek semangat guru sangat tinggi, demikian pula dengan aspek pertimbangan dan dorongan yang diberikan oleh pimpinan dan para anggotanya cukup besar, sehingga mendorong anggota untuk berprestasi. Aspek lain yang mempunyai intensitas rendah adalah aspek rintangan atau mengelak, tidak terikat, menekankan pada produksi, menyendiri (disengagement). Perilaku dari orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut muncul dalam bentuk yang sebenarnya (authenticity).

Iklim organisasi yang tertutup, semangat anggota adalah rendah, demikian juga dengan aspek pertimbangan dan dorongan yang diberikan oleh pimpinan dan teman sejawat. Aspek-aspek pada iklim organisasi tertutup yang tergolong tinggi tampak pada aspek rintangan, tidak terikat, menekankan pada produksi dan sikap menyendiri.

Guna menentukan apakah suatu iklim organisasi itu tertutup atau terbuka, adalah dengan menggunakan delapan indikator sebagaimana yang dikemukakan di atas. Lebih jelas, dapat dilihat pada gambar berikut.

CLIMATE DIMENSION

CLIMATE TYPE

OPEN

CLOSED

Hindrance

low

high

Intimacy

avarage

avarage

Disengagement

low

high

Espirit

high

low

Production Emphasize

low

high

Aloofness

low

high

Thrust

high

low

Consideration

high

low

Gambar 5. Profil Iklim Organisasi Terbuka dan Tertutup

Sumber : Hoy dan Miskel, 1985, Educational Administration: Theory, Research, and Practice, Third Edition.

Dalam pada itu muncul pernyataan bahwa meskipun rangkaian kesatuan (kontinum) iklim itu berguna, namun tidak dapat dianjurkan untuk membagi rangkaian kesatuan itu menjadi iklim-iklim yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang berlainan. Telah dijumpai pula kelemahan dari tipe-tipe iklim yang terletak antara kedua tipe ekstrim yaitu tipe yang terbuka dan tipe yang tertutup. Hoy dan Miskel mengutip pendapat halpin dan Croft yang mengakui hal itu dengan pernyataan : “…we have said that these climates were ranked in respect to openness versus closedness”.[57]

Demikianlah pengelompokkan iklim yang di tengah antara yang terbuka dan tertutup itu kurang meyakinkan dibandingkan dengan yang ekstrimnya sendiri. Hanya saja rangkaian kesatuan terbuka dan tertutup itu memberikan pengertian tentang iklim itu sendiri.

Lebih lanjut Zahn, Kagan, dan Widaman memberikan definisi iklim organisasi dengan lebih operasional. Mereka mengatakan bahwa iklim organisasi adalah seperangkat tingkah laku yang digeneralisir, persepsi, dan respon afeksi di antara murid-murid yang berkaitan dengan proses belajar mengajar di dalam kelas.[58] Definisi yang terakhir ini nampaknya lebih mewakili pengertian iklim organisasi kelas yang akan digunakan dalam studi ini.

Didasarkan atas beberapa pengertian iklim di atas, maka dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi kelas adalah segala situasi (yang bukan phisik) yang muncul akibat hubungan antara murid yang menjadi ciri khusus dari kelas dan mempengaruhi proses belajar dan mengajar. Situasi non-phisik di sini dapat dipahami sebagai beberapa dimensi yang dikemukakan oleh beberapa ahli dengan istilah seperti kerja sama (cohesiveness), kepuasan (satisfaction), kecepatan (speed), formalitas (formality), kesulitan (difficulty), dan demokrasi (democracy) dari kelas.

Forehand mengelompokkan dimensi-dimensi dari iklim organsisasi, sebagai berikut :

1) Ukuran dan Struktur. Diakui pentingnya tentang besar kecilnya organisasi, namun kedudukan seseorang di dalam urutan kedudukan/pangkat jauh lebih pentingnya artinya secara psikologis. Struktur organisasi juga penting dan berhubungan dengan besar kecilnya organisasi. Dalam banyak hal, makin besar suatu organisasi akan makin besar pula jarak antara pejabat tingkat tinggi dengan para pekerja tingkat bawah. Jarak tersebut menciptakan tantangan psikologis, karena para pekerja dapat mempersepsi dirinya sebagai orang yang tidak termasuk ke dalam jajaran barisan utama yaitu kalangan pembuat keputusan.

2) Pola-pola Kepemimpinan. Pada beberapa perusahaan, rumah sakit, lembaga pendidikan, dan badan pemerintahan dipergunakan suatu rentangan besar gaya kepemimpinan. Praktek-praktek kepemimpinan merupakan kekuatan pokok dalam menciptakan iklim yang memberikan pengaruh secara langsung kepada output yang berupa kepuasan dan produksi. Dimensi pertimbangan dan perhatian, dimensi pengawasan yang ketat, dan dimensi pembuat jarak sosial seperti yang dikembangkan oleh Halpin dan Croft merupakan contoh faktor gaya kepemimpinan yang dipersepsikan oleh para pekerja dan mempengaruhi perilaku mereka.

3) Kerumitan Sistem. Dijumpai aneka kerumitan sistem dalam berbagaia organisasi. Kerumitan itu tampak dalam jumlah banyaknya interaksi dan sifat interaksi antara bagian-bagian sistem itu. Satu bagian sistem merupakan berbagai departemen dalam organisasi. Hal pokok di sisni berkenaan dengan kebergantungan antar departemen. Bila suatu departemen serat sekali bergantung kepada departemen lainnya, maka banyak interaksi dilakukan dengan unit-unit yang bersangkutan. Keanekaragaman jenis interaksi selaras dengan faktor yang menyangkut tujuan, teknologi, dan kepemimpinan departemen itu.

4) Arah Tujuan. Penggarisan tujuan berbeda-beda antar organisasi. Keanekaragaman itu mempengaruhi perilaku pekerja, karena dalam pencapaian tujuan itu di sana-sini mucul imbalan dan sanksi-sanksi.

5) Jaringan Kerja Komunikasi. Jaringan kerja komunikasi merupakan dimensi iklim yang penting artinya. Jaringan kerja berkomunikasi menjelajahi seluruh organisasi yang memberikan tilikan ke dalam jaringan kerja status, susunan otoritas, dan interaksi kelompok dengan organisasi. Pertanyaan yang muncul di sini adalah : apakah komunikasi yang berlangsung dalam organisasi memberikan pengetahuan tentang keseluruhan filsafat pengelolaan yang dianut organisasi itu. Suatu iklim dengan komunikasi satu arah merupakan faktor utama yang melumpuhkan personil unit yang bersangkutan.

Moos mengemukakan bahwa ada tiga dimensi umum yang dapat digunakan untuk melihat lingkungan psikhis (iklim). Ketiga dimensi tersebut adalah dimensi hubungan (relationship), dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth), dan dimensi perubahan dan perbaikan sistem (system maintenance and change)[59]. Dimensi hubungan mengukur sejauh mana keterlibatan murid-murid dalam kelas, sejauh mana para murid dapat mengekspresikan kemampuan mereka secara bebas dan terbuka. Dimensi pertumbuhan pribadi yang disebut juga dimensi yang berorientasi pada tujuan, mengukur tujuan utama dari suatu organisasi atau kelas. Dimensi perubahan dan perbaikan sistem mengukur sejauh mana lingkungan mendukung harapan murid, memperbaiki pengawasan dan merespon perubahan.

Ada berbagai faktor yang amat berpengaruh terhadap iklim organisasi. Faktor-faktor itu adalah struktur organisasi, teknologi kerja yang digunakan dalam organisasi, lingkungan luar yang berkaitan dengan organisasi, dan lebijaksanaan serta praktek pengelolaan yang berlaku dalam organisasi.

Mengenai pengaruh struktur terhadap iklim organisasi tampak dalam hal makin tinggi tingkat perstrukturan organisasi, maka akan makin terasa kaku dan makin tertutup lingkungan organisasi itu. Suatu organisasi disebut makin tinggi tingkat penstrukturannya, apabila pada organisasi itu makin tinggi sentralisasiny, makin tinggi formalisasinya, dan makin tinggi pula orientasinya pada aturan organisasi itu.

Otonomi yang makin besar diberikan kepada individu untuk menentukan tindakannya sendiri dan dari pihak pimpinan, perhatian terhadap pekerja cukup besar, maka akan dijumpai iklim kerja organisasi yang makin “menyenangkan”. Yang dimaksud dengan iklim kerja yang menyenangkan adalah iklim yang terbuka, suasana saling percaya, dan suasana para pekerja yang bertanggung jawab atas pekerjaannya masing-masing. Di dalam organisasi yang demikian itu individu mendapata kebebasan untuk mengambil keputusan. Lebih lanjut, ukuran besarnya organisasi dan kedudukan seseorang dalam organisasi tersebut akan berpengaruh terhadap iklim organisasi yang kecil, sedangkan pada organisasi yang besar adalah sebaliknya.

Faktor teknologi kerja yang digunakan dalam organisasi juga akan berpengaruh terhadap iklim organisasi. Pada penggunaan teknologi rutin cenderung menimbulkan iklim yang serba kaku, sedangkan teknologi yang lebih dinamis akan mendatangkan iklim yang lebih terbuka dengan tingkat kepercayaan, kreativitas, dan tingkat penerimaan tanggung jawab pelaksanaan tugas yang tinggi.

Faktor ketiga yang mempengaruhi iklim organisasi adalah lingkungan luar yang berkaitan dengan organisasi. Tantangan dan pengaruh faktor ini terhadap iklim organisasi masih belum banyak diketahui. Namun demikian tentunya suatu peristiwa atau faktor luar berhubungan secara khusus dengan para pekerja berpengaruh terhadap iklim organisasi itu. Demikian pula keamanan kerja dan keadaan ekonomi yang mengancam, tentunya merugikan keterbukaan dalam iklim organisasi.

Adapun faktor keempat yang berpengaruh terhadap iklim organisasi adalah kebijaksanaan serta praktek pengelolaan yang berlaku dalam organisasi. Pentingnya faktor ini tampak dalam pertanyaan Steers tentang kesimpulan yang dibuat beberapa ahli “…that management or leadership style represented the single most important determinant of organizational climate”[60]

Selanjutnya Milton mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi iklim, sebagai berikut : (1) individual autonomy, (2) degree of structure imposed upon the position, (3) reward orientation, dan (4) consideration, warmth, and support.[61]

6) Perilaku Belajar Siswa. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar mengacu kepada apa yang dilakukan siswa. Sedangkan mengajar mengacu kepada apa yang dilakukan guru.

Belajar adalah proses aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu baik fisik maupun psikis. Belajar adalah suatu proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Pengalaman dalam proses belajar tidak lain ialah interaksi antara individu dengan lingkungannya[62]. Sedangkan pengertian mengajar adalah :

Membimbing kegiatan belajar siswa, mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa, sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa melakukan kegiatan belajar.[63]

Ternyata mengajar itu di samping berpusat pada siswa yang belajar (student centred), juga melihat hakekat mengajar sebagai proses, yakni proses yang dilakukan guru dalam menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Dengan kata lain, hasil daripada proses mengajar adalah perbuatan belajar.

Lebih lanjut dikatakan, mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisir atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar.[64] Konsep di atas menunjukkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh guru antara lain adalah sebagai berikut :

a) Membimbing aktivitas anak, di mana peran guru tidak terlalu menonjol, melainkan berusaha agar anak mau berbuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan guru menyatakan bahwa aktivitas anak dalam proses belajar mengajar itu adalah penting.

b) Mengajar berarti membimbing pengalaman anak. Pengalaman adalah interaksi dengan lingkungan. Dalam interaksi itulah anak belajar dan berkat pengalaman tersebut anak memperoleh pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan. Lingkungan dalam artian di sini tidak hanya situasi yang dibatasi oleh empat dinding, melainkan pengertian lingkungan dalam arti luas.

c) Mengajar berarti membantu anak berkembang dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Apa yang diajarkan hendaknya jangan semata-mata ditujukan untuk penguasaan materi yang disajikan, melainkan juga bagaimana implikasi dari apa yang dipelajarinya.

Konsep mengajar di atas tampak bahwa titik berat peranan guru bukan sebagai pengajar, tetapi sebagai pembimbing belajar, atau pemimpin belajar, atau fasilitator belajar. Dikatakan pemimpin belajar, sebab guru yang menentukan ke mana kegiatan siswa akan diarahkan, dan dikatakan sebagai fasilitator sebab guru yang harus menyediakan fasilitas, setidak-tidaknya menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menjadi sumber bagi siswa dalam melakukan kegiatan belajar. Ini berarti, inti dari proses mengajar adalah kegiatan siswa belajar. Hakekat mengajar dalam rumusan ini sejalan dengan konsep belajar yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni kedua-duanya dipandang sebagai suatu proses, yang ditandai dengan tumbuhnya kegiatan siswa belajar.

Terdapat titik pertemuan antara berbagai pendapat para ahli mengenai apa itu hakekat dari perbuatan belajar, yaitu perubahan perilaku dan pribadi. Namun mengenai apa sesungguhnya yang dipelajari dan bagaimana manifestasinya masih tetap merupakan masalah yang mengundang interpretasi yang beragam. Jelas, bahwa sumber keragaman yang paling fundamental mengenai hal ini terletak pada dasar pandangan yang dipergunakan. Secara dingkat dari berbagai pandangan itu dapat dirangkumkan bahwa yang dimaksud dengan perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau struktural, material, dan behavioral, serta keseluruhan pribadi[65] .

Perubahan-perubahan dari hasil perbuatan belajar tersebut didasarkan atas aktivitas yang dilakukan oleh siswa atau peserta didik dalam belajar. Sehubungan dengan hal ini, Nasution mengutip pendapat Paul B. Dietrich membuat suatu daftar kegiatan belajar dari pada siswa, yaitu :

a) Visual activities; seperti membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, mengamati pekerjaan orang lain, dan sebagainya.

b) Oral activities; seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, dan sebagainya.

c) Listening activities; kegiatan-kegiatan mendengarkan, baik pembicaraan guru atau dari sumber belajar lainnya.

d) Writtingactivities; seperti kegiatan menulis berbagai cerita/karangan, laporan, dan sebagainya.

e) Drawing activities; kegiatan menggambar dalam berbagai cara dan bentuk.

f) Motor activities; seperti kegiatan melakukan percobaan, praktek-praktek, dan sebagainya.

g) Emotional activitie; seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, gugup, dan sebagainya.[66]

Lebih lanjut dikemukakan bahwa apa yang dilakukan siswa dalam kegiatan belajar berdasarkan arahan dan bimbingan guru sesuai dengan sifat dan kategori bahan pelajaran. Bagaimana cara siswa melakukan perbuatan belajar tersebut dapat dilihat dari tiga cara, yaitu klasikal, kelompok, dan mandiri.[67]

Cara klasikal artinya setiap siswa mempelajari hal yang sama dalam waktu dan cara yang sama. Misalnya pada waktu guru menjelaskan bahan pelajaran di mana semua siswa di kelas tersebut melakukan aktivitas yang sama, yaitu mendengarkan atau mencatat uraian dari guru.

Cara kelompok, maksudnya beberapa siswa dihimpun dalam satu kelompok (3-5 orang siswa) dan setiap kelompok siswa diberikan masalah oleh guru untuk dipecahkan bersama-sama. Satu kelas bisa dibentuk beberapa kelompok. Sedangkan masalah yang harus dipecahkan oleh kelompok siswa bisa dibuat sama dan juga bisa berbeda.

Cara mandiri/individual, maksudnya setiap siswa di kelas tersebut dituntut untuk melakukan kegiatan belajar masing-masing. Misalnya, guru memberikan tugas dalam bentuk soal-soal untuk dikerjakan oleh setiap siswa. Bisa juga guru menyuruh siswa untuk membaca buku sumber lalu membuat ringkasan dari apa yang dibacanya, atau mengajukan pertanyaan dari bahan yang dipelajarinya.

Proses belajar mengajar dengan ketiga cara kegiatan belajar tersebut penggunaannya dapat divariasikan. Artinya ketiga kegiatan tersebut digunakan secara berselang seling sehingga siswa tidak bosan melakukan kegiatan belajarnya. Cara klasikal pada umumnya dilakukan pada awal mengajar dalam rangka menjelaskan bahan pelajaran kepada siswa dan pada akhir mengajar dalam rangka menyimpulkan bahan pelajaran yang telah dipelajari. Cara kelompok dilakukan apabila bahan pelajaran menuntut pemecahan masalahnya secara bersama-sama dari sejumlah siswa. Sedangkan secara individual dilakukan apabila guru bermaksud melihat kemampuan setiap siswa memahami suatu persoalan yang bersumber dari bahan pelajaran. Biasanya diberikan dalam bentuk tugas atau pertanyaan yang dikerjakan oleh masing-masing siswa.

Kegiatan belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kegiatan guru atau cara/metode mengajar yang digunakan guru.

Di samping itu, belajar erat sekali kaitannya dengan iklim atau suasana di mana proses belajar mengajar itu berlangsung. Meskipun prestasi belajar juga dipengaruhi oleh banyak aspek seperti gaya belajar, pengaruh iklim organisasi kelas tidak dapat diabaikan. Hal ini cukup beralasan karena ketika murid-murid belajar di ruangan kelas, iklim organisasi kelas baik iklim fisik maupun non-fisik kemungkinan mendukung mereka dan kadang-kadang apabila mereka tidak beruntung, malah mengganggu mereka. Oleh karena itu Hyman mengatakan bahwa iklim yang kondusif antara lain dapat mendukung (1) interaksi yang bermanfaat di antara murid, (2) memperjelas pengalaman-pengalaman guru dan murid, (3) semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, (4) saling pengertian antara guru dan murid.[68] Lebih lanjut, Moos dalam Walberg mengatakan bahwa iklim organisasi kelas mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan murid, belajar, dan pertumbuhan pribadi.[69] Pendapat Hyman maupun Moos sangat beralasan karena hal-hal tersebut di atas pada gilirannya akan mempengaruhi prilaku (baik perilaku yang ditampilkannya dalam hubungan sosial sehari-hari dan prestasi murid).

Walberg mengemukakan bahwa prestasi belajar murid ditentukan oleh banyak faktor seperti usia, kemampuan dan motivasi, jumlah dan mutu pengajaran, lingkungan rumah dan kelas.[70] Di samping itu Belier kelihatannya juga mendukung Walberg dengan mengatakan bahwa iklim organisasi kelas yang ditandai dengan kehangatan, demokrasi, dan keramah-tamahan dapat digunakan sebagai alat untuk membentuk prilaku belajar memprediksi prestasi murid.[71]

Sehubungan dengan prilaku belajar murid ini, terdapat perbedaan dari para ahli. Hal ini sangat disadari, karena cara memandang mereka yang berbeda-beda. Menurut Grasha dan Riechman yang dikutif Nasution mengemukakan ada 6 gaya yang merespon murid dalam belajar. Keenam gaya merespon dalam belajar itu adalah berdikari (dapat berpikir sendiri dan bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain), tak dapat berdiri sendiri (belajar hanya apa yang ditugaskan dan diharuskan serta bergantung pada atasan untuk melakukan sesuatu), kooperatif (suka belajar bersama dan berkelompok), bersaing dan kompetitif (berusaha melebihi orang lain), suka berpartisipasi (suka belajar bila ditugaskan atau diharuskan), dan mengelakkan pelajaran (tidak berminat untuk belajar).[72]

Sedangkan Stern mengemukakan penggolongan prilaku belajar yang lain. adapun perilaku belajar yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Authoritarians; yaitu mereka yang patuh kepada tokoh-tokoh otoritas dan tidak menyukai diskusi.

2. Anti-authorotarians; yaitu mereka yang mempunyai intelegensi yang tinggi dan mempunyai minat yang luas tentang hal-hal akademis maupun kultural.

3. Rationals; ini merupakan kelompok campuran dari kedua kelompok di atas.[73]

Beberapa uraian tentang gaya atau perilaku belajar murid di atas menggambarkan bahwa adanya keberagaman dari cara seseorang dalam belajar. Maka dari itu perlu dilakukan berbagai usaha dalam menciptakan suasana agar tercapai efektivitas belajar yang tinggi. Metode mengajar hendakanya disesuaikan dengan gaya belajar murid, sehingga jadi interaksi timbal balik antara guru dengan murid. Dengan mengetahui gaya belajar siswa, guru dapat menyesuaikan gaya mengajarnya dengan kebutuhan siswa, misalnya dengan menggunakan berbagai gaya mengajar sehingga murid-murid semuanya dapat memperoleh cara yang efektif dalam belajar. Agar dapat memperhatikan gaya belajar siswa, guru harus menguasai keterampilan dalam berbagai peranan sesuai dengan peranannya sebagai seorang pemimpin dalam kelasnya. Di samping itu juga perlu diperhatikan secara teliti : tingkat keikutsertaan (partisipasi) para siswa. Nilai-nilai intrinsik yang dianut siswa., efisien tidaknya proses belajar, dan sejauh mana proses belajar atau iklim/lingkungan belajar dapat membantu guru dan siswa mencapai tujuan.

Squires mengungkapkan hal penting yang meningkatkan sekolah dan kelas agar efektif. Masalah-masalah yang penting yang harus dipecahkan untuk menunjang pencapaian ukuran sekolah dan kelas yang efektif adalah : (1) pengukuran hasil belajar murid yang diukur dengan tingkat validitas dan tingkat reliabilitas, (2) guru dan aparat sekolah lainnya dapat berperan dalam pencapaian hasil belajar murid, (3) mengusahakan keikutsertaan murid dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, sehingga murid memperoleh hasil belajar yang baik (exelence), (4) diusahakan murid agar dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan baik dan terkontrol oleh guru, murid selalu mengikuti tes yang telah dibakukan, (5) guru memberikan bahan dengan baik. Keahlian (profesional) akan menghasilkan hasil belajar murid yang baik, (6) mengubah sekolah menjadi efektif (dilakukan secara terus menerus setiap tahun).[74] Pengertian setiap komponen seperti pimpinan sekolah, pengawas atau penilik, suasana sekolah, perilaku guru, perilaku murid harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan hasil belajar murid menjadi baik. Komponen-komponen itu harus dihubungkan. Untuk menghubung-hubungkan komponen tersebut administrasi atau manajemen sebagai alat memegang peranan penting.

Kelas yang efektif mengangkat harkat dan derajat sekolah menjadi sekolah yang efektif. Untuk melaksanakan upaya itu menurut Squires, dkk. hanya ada dua komponen penting yang harus saling jalin dan sadar akan tujuan, guru, dan murid menampakkan tingkah laku yang efektif. Murid dapat meliputi segala kegiatan kurikuler, ekstra kurikuler, dan ko-kurikuler. Murid penuh disiplin dan tanggung jawab. Murid melakukan segala tugas harian serta menjalani segala bentuk dan jenis pengukuran yang dilakukan guru di sekolah untuk mengukur keberhasilan belajar. Demikian pula gur, ia menjalin keakraban, kehangatan, dan keadilan utnuk terciptanya suasana yang dapat mendukung kelancaran proses mengajar yang dilaksanakannyaatau proses belajar yang diikuti oleh murid-murid.

Usaha terciptanya proses belajar mengajar aktif bukanlah merupakan suatu yang baru, melainkan sudah merupakan bagian utuh yang melekat pada sistem pendidikan nasional. Teori belajar apapun yang kita anut, semuanya berisi ajaran bahwa dalam proses belajar mengajar anak harus dilibatkan secara aktif. Kalau dalam praktek belajar mengajar di sekolah masih sering kita temukan kurangnya keaktifan anak dalam belajar dan masih dominannya pernan guru, sesungguhnya hal ini merupakan suatu distorsi yang terjadi karena kurangnya penguasaan guru terhadap landasan didaktik dan metodik.[75]

Perlu ditekankan bahwa proses belajar mengajar aktif ini sangat baik, karena belajar yang bermakna adalah yang merangsang anak didik untuk aktif dan kreatif. Belajar bermakna dapat berlangsung apabila anak didik berperan secara aktif dalam proses belajar mengajar.

Sehubungan dengan keaktifan siswa dalam belajar ini, Yamamoto yang dikutif oleh Uzer Usman mengemukakan adanya tiga pembagian, yaitu : (1) keaktifan intensional atau kesengajaan terencana dari peran serta kegiatan oleh kedua belah pihak (siswa dan guru) dalam proses belajar mengajar, (2) keaktifan insidental atau keaktifan yang dilakukan sewaktu-waktu, dan (3) tidak ada sama sekali keaktifan.[76] Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila keaktifan dalam belajar dapat mencapai hasil yang optimal. Sedangkan sebaliknya, apabila tidak ada keaktifan kemungkinan besar tidak tercapainya hasil sebagaimana yang diharapkan.

Keaktifan yang dilihat dalam penelitian ini bukan berupa keaktifan dari para siswa secara individu, melainkan keaktifan daripada kelompok kelas yang muncul selama proses belajar mengajar berlangsung.

B. Kerangka Berpikir

1. Hubungan antara Kepemimpinan Guru dengan Perilaku Belajar Siswa

Guru sebagai pemimpin dalam kelas merupakan faktor utama yang sangat menentukan tentang apa dan bagaimana mengelola program pengajaran serta usaha pencapaian tujuan.

Faktor kepemimpinan guru sangat berpengaruh terhadap perilaku belajar siswa. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku belajar siswa dilihat dari sisi instrumen input (yaitu aspek guru khususnya mengenai kepemimpinannya).

KEPEMIMPINAN GURU PERILAKU BELAJAR SISWA

Gambar 6. Hubungan antara Kepemimpinan Guru dengan Perilaku Belajar Siswa

Dari uraian di atas, maka dapat diduga bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan guru dengan perilaku belajar siswa.

2. Hubungan antara Kepemimpinan Guru dengan Iklim Organisasi Kelas

Penciptaan iklim organisasi kelas yang baik yaitu iklim yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar yang efektif, peranan kepemimpinan guru jelas sangat menentukan.

Guru dengan masing-masing keunikan dan kekomplekannya serta gaya kepemimpinan yang berbeda akan memberikan warna tersendiri terhadap iklim organisasi kelas yang kondusif.

KEPEMIMPINAN GURU IKLIM ORGANISASI KELAS

Gambar 7. Hubungan antara Kepemimpinan Guru dengan Iklim Organisasi Kelas.

Dari uraian di atas maka dapat diduga bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan guru dengan iklim organisasi kelas.

3. Hubungan antara Kepemimpinan Guru dan Iklim Organisasi Kelas dengan Perilaku Belajar Siswa

Seperti telah diuraikan di atas, dengan mengetahui kepemimpinan guru, iklim organisasi kelas yang sebenarnya dan perilaku belajar siswa, maka perbaikan kualitas pendidikan dapat diraih dengan baik sehingga apabila kedua hal tersebut sejalan secara bersama-sama maka akan membantu meningkatkan kualitas belajar dalam hal ini perilaku belajar siswa.

KEPEMIMPINAN GURU

PERILAKU BELAJAR

IKLIM ORGANISASI KELAS

Gambar 8. Hubungan antara Kepemimpinan Guru dan Iklim Organisasi Kelas dengan Perilaku Belajar.

Dari uraian di atas maka dapat diduga bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan guru dan iklim organisasi kelas dengan perilaku belajar siswa.

C. Penelitian yang Relevan

Belajar erat kaitannya dengan iklim atau suasana di mana proses belajar mengajar berlangsung. Meskipun prestasi belajar juga dipengaruhi oleh banyak aspek, seperti gaya belajar, pengaruh iklim atau suasana kelas tidak bisa diabaikan. Hal ini cukup beralasan karena ketika murid atau siswa-siswa belajar di ruangan kelas, iklim kelas baik yang tercipta karena pengaruh faktor fisik maupun faktor non-fisik kemungkinan akan mendukung mereka dan bahkan kadang-kadang apabila mereka tidak beruntung dapat menjadi penghambat dalam mereka melakukan aktivitas belajar. Oleh karena itu, Hyman mengatakan bahwa iklim yang kondusif antara lain (1) memperjelas pengalaman-pengalaman guru dan murid, (2) semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatandi kelas berlangsung dengan baik, (3) saling pengertian antara guru dan murid.[77] Lebih lanjut Moos mengatakan bahwa iklim kelas mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan murid, gairah, dan cara belajar murid, dan juga terhadap pertumbuhan pribadi dari para murid. Iklim kelas yang mendukung atau yang berkontribusi positif terhadap kepuasan murid, cara belajar, motivasi belajar, pertumbuhan pribadi dan yang lainnya, pada gilirannya nanti akan berpengaruh positif terhadap prestasi belajar. Demikian pula sebaliknya, apabila iklim kelas yang tercipta memberikan dampak negatif terhadap aktivitas belajar para murid. Jelas dalam hal ini akan mempengaruhi perilaku ataupun prestasi belajarnya.

Setelah dikemukakan beberapa rumusan tentang iklim organisasi dan dimensi-dimensinya, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa studi tentang iklim organisasi sekolah yang pernah dilakukan orang.

Ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa lingkungan atau iklim kelas ikut mempengaruhi prestasi belajar murid. Sidje melakukan penelitian terhadap murid kelas 2 sekolah menengah pertama yang belajar Matematika, dengan menggunakan Dutch Classroom Climate Questionare (DCCQ). Salah satu dimensi dari DCCQ , yaitu pengawasan guru terhadap murid mempunyai korelasi yang signifikan dengan prestasi belajar murid.[78]

Dikaitkan dengan permasalahan dalam tulisan ini, terdapat beberapa kesamaan komponen yang diteliti, yaitu tentang iklim organisasi kelas dengan perilaku belajar siswa. Sebagaimana kita ketahui, bahwa prestasi belajar yang dicapai oleh subjek didik tidak terlepas dari pengaruh iklim organisasi kelas yang tercipta serta perilaku belajar yang muncul akibat dari iklim yang ada. Kedua aspek ini pada akhirnya nanti turut mewarnai hasil belajar yang dicapai oleh para murid.

Lebih jauh Fraser mendokumentasikan penelitian-penelitian yang membuktikan adanya hubungan yang positif antara lingkungan atau iklim kelas dengan hasil belajar murid.[79] Penelitian-penelitian itu menggunakan berbagai macam instrumen iklim kelas dengan hasil belajar murid. Penelitian-penelitian itu menggunakan berbagai macam instrumen iklim kelas seperti Learning Environment Inventory (LEI), Classroom Environment Scales (CES), My Classroom Instrument (MCI) dan instrumen lain di beberapa negara baik di negara-negara maju seperti USA, Canada, dan Australia maupun di negara-negara berkembang seperti India, Indonesia, Brazil, Thailand, dan negara berkembang lainnya.

Implikasi lebih lanjut dari studi-studi itu adalah bahwa perilaku ataupun prestasi belajar murid sekolah dasar di Indonesia juga dapat ditingkatkan dengan menciptakan iklim kelas yang kondusif dan lebih baik.

Hasil penelitian lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Helpin dan Croft.[80] Mereka mulai memetakan iklim organisasi sekolah ketika mereka mengamati bahwa (1) sekolah-sekolah itu mempunyai iklim yang berbeda-beda, (2) konsep tentang semangat tidak menunjukkan indeks dari iklim organisasi itu, (3) kepala-kepala sekolah yang diangkat pada sekolah-sekolah yang harus dikembangkan itu dihambat oleh para guru, dan (4) topik iklim organisasi itu membangkitkan minat.[81]

Menggunakan instrumen Leader Behavior Description Questionaire (LBDQ) yang terdiri dari perilaku guru (hindrance, intimacy, disengagement, espirit) dan karakteristik perilaku kepala sekolah (product emphasis, aloofness, consideratior, thrust). Halpin menemukan bahwa para administrator sekolah yang dia wawancarai mempunyai kecenderungan untuk memandang tenggang rasa (consideration) dan struktur prakarsa (initiating structure) sebagai perilaku pemimpin.[82] Halpin menandaskan bahwa tidak perlu terjadi konflik antara struktur prakarsa dengan tenggang rasa. Di amenunjukkan bahwa sesuai dengan penemuannya perilaku kepemimpinan yang efektif atau diharapkan itu ditandai dengan skor yang tinggi dalam struktur prakarsa dan tenggang rasa. Sebaiknya perilaku kepemimpinan yang tidak efektif atau tidak diharapkan ditandai dengan skor rendah dalam dimensi tersebut.

Berdasarkan penelitiannya, Helpin menyimpulkan bahwa seorang pemimpin yang sukses itu memberikan kontribusi kepada tujuan-tujuan utama kelompok : pencapaian tujuan dan pemeliharaan kelompok.[83]

Halpin menggambarkan iklim organisasi berdasarkan perilaku guru dan perilaku kelapa sekolah dalam suatu kontinum dari terbuka (open) sampai tertutup (closed) : open, autonomous, controlled, familiar, paterna, closed.[84]

Steers menyatakan : “…available evidance indicates that a clear positive relationship exist between climate and job satisfaction…. The relationship between climate and job performance appears to be somewhat more complex”.[85] Di dalam penelitian tahun 1968 yang dilakukan oleh Litwin dan Stringer seperti yang diutarakan Steers, telah ditemukan bahwa iklim yang otoriter akan menimbulkan hasil kerja yang rendah, kepuasan dan kreativitas yang rendah, dan sikap penolakan pada kelompok kerja. Di pihak lain dalam iklim organisasi yang penuh keakraban dijumpai kepuasan kerja yang tinggi, sikap positif terhadap kelompok kerja, perilaku kreatif yang cukup, namun unjuk kerjanya rendah. Hanya pada iklim yang berorientasi pada pencapaian prestasi, dengan penekanan pada pencapaian tujuan, barulah akan dijumpai perilaku kreatif dan produktivitas yang tinggi. Iklim yang bersifat pencapaian prestasi akan juga menimbulkan kepuasan kerja yang tinggi, sikap-sikap kelompok yang positif dan tingkat motivasi pencapaian tujuan yang tinggi pula. Penemuan Steers pada tahun 1975 dan tahun 1976 sesuai dengan penemuan Litwin dan Stringer di tahun 1968.

Dihubungkan dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk keberhasilan pimpinan mengelola organisasi diperlukan penciptaan iklim yang menekankan pencapaian tujuan dengan mendorong adanya dukungan, kerja sama, dan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan yang menuju pada pencapaian tujuan. Iklim memang memberikan pengaruh penting terhadap unjuk kerja dan kepuasan kerja, namun bilamana di bandingkan, maka pengaruh iklim terhadap kepuasan kerja lebih mendasar daripada pengaruh iklim terhadap unjuk kerja. Hal ini disebabkan karena beberapa sifat yang ada pada seseorang ada interaksinya dengan dimensi iklim tertentu dan dari interaksi tersebut menimbulkan berbagai keadaan tertentu. Hal ini berarti pula bahwa sesuatu hasil yang diharapkan akan dapat tercapai secara maksimal, apabila keperluan, tujuan, dan nilai yang ada pada seseorang bersesuaian dengan lingkungan kerja orang yang bersangkutan.

Argyris meneliti sejumlah organisasi industri untuk menentukan praktek manajemen apa yang telah mempengaruhi perilaku individu dan pertumbuhan pribadi di dalam lingkungan kerja. Dia menyatakan bahwa sikap dan kurang usaha dari para pekerja dalam organisasi industri itu bukanlah disebabkan karena kemalasan individu, akan tetapi karena mereka dijauhkan dari kedewasaan oleh praktek manajemen yang dipergunakan dalam organisasi mereka. Mereka dibatasi dalam mengontrol lingkungan dan dikembangkan untuk menjadi pasif, bergantung, dan merendah sehingga mereka berperilaku tidak dewasa. Dalam banyak organisasi, para pekerja diharapkan untuk berbuat dalam cara yang tidak dewasa. Bahkan hal yang demikian juga terjadi pada banyak sistem sekolah, di mana siswa-siswa menjadi sasaran dari banyak aturan dan tekanan serta tuntutan.[86]

Berdasarkan penemuan ini, Argyris menyerukan agar manajemen menciptakan iklim kerja di mana setiap orang mempunyai kesempatan untuk berkembang dan matang sebagai individu, sebagai anggota kelompok dengan cara memenuhi kebutuhan mereka selagi mereka bekerja untuk keberhasilan organisasi maupun pemenuhan kebutuhan individu.

Untuk keberhasilan pimpinan mengelola organisasi diperlukan penciptaan iklim yang menekankan pada pencapaian tujuan dengan mendorong adanya dukungan, kerja sama, keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan yang menuju kepada pencapaian tujuan. Iklim memang memberikan pengaruh terhadap unjuk kerja. Hal ini disebabkan karena beberapa sifat yang ada pada seseorang ada interaksinya dengan dimensi iklim tertentu dan dari interaksi tersebut menimbulkan berbagai keadaan tertentu. Hal ini berarti pula bahwa sesuatu hasil yang diharapkan akan dapat tercapai secara maksimal, apabila keperlauan, tujuan, dan nilai yang ada pada seseorang bersesuaian dengan atau setidak-tidaknya dapat diselaraskan dengan lingkungan kerja orang yang bersangkutan.

Dikaitkan dengan perilaku belajar siswa, di mana untuk tercapainya tujuan pengajaran secara efektif akan ditentukan oleh beberapa faktor sebagaimana dikemukakan di atas. Dalam suatu penelitian yang penting atas hubungan ini, Litwin dan Stringer berkesimpulan bahwa iklim yang otoriter dengan sentralisasi pengambilan keputusan, sementara perilaku pekerja ditentukan sebagian besar oleh peraturan dan prosedur standar, bukan hanya menjurus pada produktivitas rendah, tetapi juga menghasilkan sedikit sekali kepuasan dan kreativitas serta menimbulkan sikap yang negatif terhadap kelompok kerja.[87] Di pihak lain, iklim yang bersifat kekeluargaan (demokratis) dengan tekanan pada hubungan antar pribadi antar personil dalam organisasi, biasanya akan menjurus pada kepuasan kerja yang tinggi, sikap positif terhadap kelompok kerja, dan perilaku kreatif yang cukup besar.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan asumsi dan permasalahan di atas, berkut ini dapat dirumuskan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan berarti antara Kepemimpinan Guru dengan Iklim Organisasi Kelas.

2. Terdapat hubungan berarti antara Kepemimpinan Guru dengan Perilaku Belajar Siswa.

3. Terdapat hubungan berarti antara Kepemimpinan Guru dan Iklim Organisasi Kelas dengan Perilaku Belajar Siswa.


16 Abu Ahmadi, dkk., 1991, h. 1989.

17 Sutermeister, 1976, h. 1.

18 Terry, 1977, h. 410.

19 Ibid.

20 Burns, 1978, th.

21 Lipham, 1874, h. 66)

22 Fiedler dalam Stogdil, 1974, h. 10.

23 Sondang P. Siagian, 1982, h. 12.

24 Agus Dharma, 1992, h. 99.

25 Hersey, 1982, th.

26 Carter V. Good, 1959, h. 319.

27 Kimball Wiles, 1961, h. 29.

28 Musaazi, 1988, h. 53.

29 Dirawat, dkk., 1984, h. 12.

30 Musaazi, 1988.

31 Sondang P. Siagian, 1989, h. 6.

32 Hersey dan Blanchard, terjemahan oleh Agus Dharma, 1992, th.

33 Fiedler, 1976, h. 147.

34 Miftah Thoha, 1983, h. 290.

35 Dirawat, dkk., 1983, h. 45.

36 Musaazi, 1988, h. 62.

[37] Ibid, h. 63.

[38] Musaazi, 1988 dan Soetopo Soemanto, 1982.

[39] Musaazi, 1988, h. 64.

[40] Idochi Anwar, 1987.

[41] Paul Hersey dan Kenneth H, Blanchard, 1978.

[42] Hadari Nawawi, 1985, h. 27.

[43] Dales S. Beach, 1980, h. 132.

[44] Louis Allen di dalam Hendyat Soetopo, 1982, h. 297.

[45] Davis and Newstrom, 1985, h. 23.

[46] Richard M. Steers, 1977, h. 101.

[47] Morphet, 1974, h. 388-389.

[48] Ibid.

[49] Newell, 1978, h. 170.

[50] Kinney dan Hurst, 1980, h. 78.

[51] Keith Davis, 1981, h. 104.

[52] Idem, h. 105.

[53] James L. Gibson dkk, 1973.

[54] Hoy, 1982, h. 76.

[55] Hoy dan Miskel, 1982, h. 227.

[56] Halpin dan Croft di dalam Hoy dan Miskel, 1985, h. 227.

[57] Halpin dan Croft dalam Hoy dan Miskel, 1985, h. 114.

[58] Zahn, Kagan, dan Widaman, 1986, h. 351.

[59] Moos, 1979, h. 13.

[60] Steers, 1977, h. 107.

[61] Milton, 1981, h. 458.

[62] Bloom, 1976, h. 143.

[63] Nana Sudjana, 1988, h. 19.

[64] Nasution, 1986, h. 8.

[65] Abin Syamsuddin, 1986.

[66] Paul B. Dietrich dalam Nasution, 1988, h. 95.

[67] Nana Sudjana, 1988, h. 47.

[68] Hyman, 1980, h. 30.

[69] Moos dalam Walberg, 1979, h. 79.

[70] Walberg dalam Farley dan Gordon, 1981, h. 92.

[71] Walberg dan Peterson dalam Berlier, 1979, h. 122.

[72] Grasha dan Riechman dalam Nasution, 1989, h. 101.

[73] Stern dalam Nasution, 1989, h. 105.

[74] Squires, 1983, h. 9.

[75] Syaharul Abubakar, 1992, h. 20.

[76] Yamamoto, 1969, dalam Uzer Usman, 1992, h. 19.

[77] Hyman, 1980, h. 30.

[78] Sidje, 1988, h. 41.

[79] Fraser, 1986, h. 119.

[80] Helpin dan Croft dalam Tuckman, 1978.

[81] Hoy dan Miskel, 1978, h. 138.

[82] Halpin, 1963.

[83] Hersey dan Blanchard 1982, h. 91-92.

[84] Hoy dan Miskel, 1978, h. 140; Lipham, 1974, h. 105-106.

[85] Steers, 1977, h. 108.

[86] Argyris, 1957.

[87] Litwin dan Stringer, 1968.

Tinggalkan komentar