Bab 1- Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia, yaitu manusia yang berkualitas baik secara fisik maupun psikhis. Melalui pendidikan itulah kita ingin mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Karena itu sepantasnyalah pembangunan di bidang pendidikan ini terus dilanjutkan agar pembangunan bangsa dan negara ini juga tetap dilaksanakan dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Usaha pembangunan di bidang pendidikan ini mencakup semua jenis dan jenjang dari pendidikan itu sendiri. Masing-masing jenjang dan jenis pendidikan diharapkan akan memberikan kontribusi tersendiri untuk pembangunan bangsa.

Sekolah dasar merupakan salah satu jenjang pendidikan yang sangat strategis untuk memberikan wawasan tentang berbagai pengetahuan dan teknologi, membentuk kepribadian, menanamkan nilai-nilai, dan juga merupakan jenjang dasar untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Karena peranannya yang demikian penting itulah, pendidikan khususnya sekolah dasar ini menuntut pengelolaan yang profesional dari semua pihak yang terkait. Juga, karena peranan pentingnya itu pulalah kritik tentang sekolah dasar sering dilontarkan. Ini ditandai dengan masih tingginya tingkat mengulang kelas, yaitu sebanyak 2.559.068 murid tahun 1988/1989, 2.602.249 tahun 1989/1990, dan 2.537.879 pada tahun 1990/1991 (Depdikbud RI, 1991 : 37), dan rendahnya persentase murid yang melanjutkan studinya ke sekolah lanjutan tingkat pertama. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang disebutkan Vembriarto, di antaranya adalah “…karena masih menganggap bahwa lulus dari pendidikan di sekolah dasar pun dianggap cukup, mereka tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan pendidikan, mereka merasa tidak mempunyai kemampuan akademik yang memadai untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama, dan kadang-kadang tidak ada sekolah di daerah mereka bertempat tinggal.”[1]

Lebih lanjut Ace Suryadi mengemukakan, bahwa “…sampai saat ini mutu guru sekolah dasar, yang berjumlah lebih kurang 1,15 juta orang, cukup mengkhawatirkan.”[2] Hal ini cukup beralasan, karena kenyataannya masih banyak kelemahan atau kekurangan-kekurangan yang ditemui dari para guru sekolah dasar tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Mohammad Ansyar “…bahwa salah satu realitas dalam pendidikan kita yang sukar diingkari dewasa ini adalah ciutnya peran guru dalam proses pengembangan potensi pribadi peserta didik. Hampir tidak ada peran yang berarti, kecuali sebagai pembekal informasi bagi para peserta didik.”[3] Selanjutnya dikemukakan bahwa “…di antara kelemahan-kelemaham guru sekolah dasar dalam mengajar di kelas, hanya sekedar memberikan informasi (information given) saja. Dengan kata lain, mereka belum mampu menampilkan dan mengembangkan kemampuan mengajar yang optimal untuk meningkatkan efektivitas belajar mengajar di kelas”.[4] Namun demikian, kelemahan-kelemahan guru seperti yang disebutkan di atas itu hendaknya janagan ditimpakan kepada guru sekolah dasar semata tanpa memperhatikan sejauh mana pembinaan yang mereka dapatkan. Lebih lanjut harian Kompas juga mengupas bahwa “…masih banyak sekolah-sekolah dasar yang belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai terutama pada daerah-daerah yang jauh dari ibu kota, serta kesempatan bagi guru-guru untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya juga terbatas dan kurang”.[5] Dengan kondisi seperti ini sangat beralasan apabila masih terdapat kendala-kendala dalam peningkatan mutu proses belajar mengajar secara khusus dan mutu pendidikan secara umum. Demikian juga halnya dengan harian Media Indonesia yang menyatakan bahwa “…mutu pendidikan tidak akan meningkat jika guru tidak diperhatikan. Guru membutuhkan pembinaan yang kontinyu dari atasannya dan atau dari pihak lain, walaupun usaha untuk mengembangkan dirinya dapat pula dilakukan secara pribadi.”[6]

Menyadari pentingnya peranan sekolah dasar dan adanya beberapa tantangan baik kualitas lulusan maupun gurunya, pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan pembenahan untuk meningkatkan kualitas sekolah dasar itu. Di antara usaha yang ditempuh pemerintah untuk kualitas sekolah dasar itu sekaligus kualitas pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi secara berturut-turut ialah ditetapkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang sistem pendidikan nasional itu memperkenalkan dan mengatur pendidikan, yaitu suatu sistem penyelenggaraan yang lebih terpadu dibandingkan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan sebelumnya di mana pada sistem pendidikan yang lama, kedua lembaga pendidikan itu pengelolaannya secara terpisah. Dengan demikian sistem ini diharapkan mampu meningkatkan kemudahan murid untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama. Lebih jauh pemerintah Indonesia juga mencanangkan wajib belajar sembilan tahun, yang secara tidak langsung murid sekolah dasar dituntut kemampuannya untuk dapat menggapai pendidikan yang lebih tinggi.

Guna menjabarkan pelaksanaan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989, terutama pasal 13 tentang pendidikan dasar, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar yang mengatur secara mendetail penyelenggaraan pendidikan pada jenjang itu. Dengan lahirnya peraturan pemerintah ini, para penyelenggara pendidikan mempunyai pedoman yang jelas untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah. Lahirnya kedua peraturan ini merupakan sejarah baru dan sangat berarti untuk pendidikan dasar di Indonesia sebagai langkah yang pasti untuk menata dan meningkatkan kualitas pendidikan dasar berlandaskan peraturan yang lebih jelas.

Selanjutnya, guna meningkatkan kualifikasi calon guru yang akan mengajar di sekolah dasar, sejak tahun 1989/1990 pemerintah Indonesia membuka program baru Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dengan masa pendidikan dua tahun di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri se-Indonesia dan di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) di universitas-universitas negeri seluruh Indonesia. Di samping itu pemerintah Indonesia mengalihfungsikan tugas sebagian Sekolah Pendidikan Guru (SPG) menjadi sekolah menengah umum dan mengintegrasikan sebagian SPG yang lain dengan IKIP. Ini adalah suatu langkah maju untuk meningkatkan kualitas sekolah dasar di mana pada tahun-tahun sebelumnya, calon guru sekolah dasar adalah lulusan SPG. Dengan tambahan dua tahun pendidikan di tingkat Institut/Universitas ini, para calon guru sekolah dasar diharapkan lebih menguasai materi ajar dan metodologi pengajaran di sekolah dasar yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah dasar pada umumnya.

Usaha peningkatan kreativitas dan kemampuan guru sekolah dasar, pemerintah juga memacu karir mereka dengan menerbitkan Keputusan Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negera Nomor 26/MENPAN/1988 yang mengatur tentang kredit point bagi guru sekolah dasar untuk kenaikan pangkat mereka. Dalam peraturan pemerintah itu guru sekolah dasar yang akan naik pangkat harus terlebih dahulu memenuhi syarat kredit point yang diwajibkan, mencakup empat kelompok kegiatan, yaitu 1) pendidikan yang meliputi keikutsertaannya dalam pendidikan formal maupun latihan-latihan kedinasan serta memperoleh ijazah, diploma atau surat tanda tamat belajar, 2) proses belajar mengajar atau bimbingan dan penyuluhan yang meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar atau memberikan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan tugas di daerah terpencil, dan melaksanakan tugas khusus di sekolah, 3) pengembangan profesi yang meliputi pembuatan karya tulis ilmiah di bidang pendidikan, membuat alat peraga, menciptakan karya seni, dan berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, 4) kegiatan penunjang proses belajar mengajar yang meliputi pelaksanaan pengambdian pada masyarakat, berpartisipasi dalam berbagai jenis kegiatan yang mendukung pendidikan.[7]

Meskipun peraturan pemerintah ini dianggap kurang realistik[8], bagaimanapun juga peraturan ini memacu para guru sekolah dasar untuk lebih banyak mempunyai aktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengajar, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Apabila dibandingkan dengan peraturan kenaikan pangkat sebelumnya, di mana kenaikan pangkat guru sekolah dasar hanya tergantung pada datangnya waktu (empat tahun), peraturan kenaikan pangkat baru ini jelas lebih menantang untuk perbaikan kualitas guru sekolah dasar.

Sebagai konsekuensi logis tugas guru sekolah dasar yang lebih berat ini, pemerintah Indonesia memperhatikan kesejahteraan mereka dengan menaikan gaji guru-guru sekolah dasar, termasuk juga guru-guru sekolah menengah dan perguruan tinggi, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1992 tentang gaji pegawai negeri sipil. Meskipun kenaikan gaji pegawai negeri ini senantiasa diikuti oleh kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok sehari-hari, upaya pemerintah ini harus dianggap sebagai suatu usaha yang sangat positif untuk peningkatan kesejahteraan guru, yang pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh positif dalam bidang pendidikan.

Usaha-usaha yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah guna meningkatkan kualitas pendidikan seperti yang diuraikan di atas baru dalam bentuk usaha yang bersifat makro, namun demikian perbaikan kualitas pendidikan itu sebenarnya tidak hanya diraih dengan perbaikan struktur pendidikan dan manajemen dari atas saja. Perbaikan pendidikan dapat pula diraih dari bawah, karena kualitas pendidikan lebih banyak ditentukan oleh proses belajar mengajar di kelas. Senada dengan pernyataan di atas, Sutjipto mengatakan bahwa “Riset untuk perbaikan kualitas pendidikan bisa diraih dari level mikro di sekolah, namun demikian riset pada level ini kurang menantang sebab kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan senantiasa datangnya dari atas”.[9] Apa yang dikatakan Sutjipto memang beralasan dan kalaupun ada penelitian-penelitian yang dilakukan terjadi pada tingkat sekolah, hasil penelitian tersebut belum dimanfaatkan untuk mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam perbaikan pendidikan di sekolah. Hal ini juga dapat dipahami karena dimungkinkan penelitian-penelitian itu belum memenuhi standar yang baku, sehingga hasilnya belum dapat dipertanggungjawabkan.

Memang, beberapa usaha makro (pendekatan dari atas) untuk peningkatan kualitas pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun demikian hasil dari pendekatan itu sangat sulit diukur sejauh mana keberhasilannya. Oleh karena itu dipandang perlu adanya perbaikan kualitas pendidikan melalui pendekatan mikro dari tingkat sekolah, lebih khusus lagi tingkat kelas. Hal ini beralasan, karena kualitas pendidikan pada dasarnya ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung di kelas. Kalau dikaitkan dengan apa yang dikemukakan Mohammad Ansyar pada uraian terdahulu, di mana kebanyakan guru-guru sekarang dalam melaksanakan tugas hanya sekedar memberikan informasi, hal ini menunjukkan belum optimalnya pelaksanaan kemampuan profesional dari para guru tersebut. Praktek pengajaran yang mereka lakukan masih belum menggambarkan sikap seorang guru yang profesional, di mana kebanyakan guru-guru sekolah dasar yang mengajar sekarang masih mempergunakan cara mengajar tradisonal, di mana guru merupakan pusat informasi. Kreativitas dan partisipasi daripada murid-murid masih rendah/diabaikan. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang dilaksanakan para guru di kelas. Seolah-olah semua kegiatan masih berpusat pada guru, sedangkan peran siswa sebagai anggota dari organisasi di mana proses belajar mengajar berlangsung hanyalah sebagai pelaksana dari apa yang direncanakan guru.

Pelaksanaan proses belajar mengajar yang baik, memang memerlukan beberapa persyaratan. Di samping tersedianya sarana dan prasarana yang dapat menunjang kelancaran proses tersebut, faktor lain yang sangat menentukan adalah faktor kepemimpinan dari guru itu sendiri serta tercipta dan tersedianya suatu iklim yang kondusif, guna menunjang kelancaran proses tersebut.[10]

Pentingnya peranan pemimpin dan kepemimpinan dalam suatu organisasi dapat dilihat dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Thomas, day, dan Lord seperti dikutif oleh Hoy dan Miskel bahwa “Kepemimpinan sebagai konsep kunci dalam memahami dan meningkatkan organisasi sekolah”.[11] Demikian juga dengan Lipham yang menyatakan bahwa “…tanpa kepemimpinan, tujuan organisasi tidak akan dapat dicapai dan akan menimbulkan kekacauan karena masing-masing orang bekerja untuk mencapai tujuan pribadinya”.[12] Lebih lanjut Keith Davis mengemukakan bahwa “Kepemimpinan dapat mengubah potensi menjadi kenyataan”.[13] Kepemimpinan yang dimaksudkan dalam hal ini tentunya kepemimpinan yang efektif.

Upaya kepemimpinan yang efektif diperlukan untuk mengarahkan, menggerakan, dan mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas organisasi (sekolah/kelas) agar proses belajar mengajar yang dilaksanakan dapat menjadi efektif dan terarah kepada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Begitu pentingnya peranan kepemimpinan tersebut, maka mengadakan studi tentang perilaku kepemimpinan guru, iklim organisasi kelas, dan dihubungkan dengan perilaku belajar siswa, dengan tujuan menjadi sangat penting dan dibutuhkan.

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang timbul dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Apakah terdapat hubungan positif antara kepemimpinan guru dengan iklim organisasi kelas ?

2. Apakah terdapat hubungan positif antara kepemimpinan guru dengan perilaku belajar siswa ?

3. Apakah terdapat hubungan positif antara kepemimpinan guru dengan iklim organisasi kelas dan perilaku belajar siswa ?

C. Pembatasan Masalah

Perilaku belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal (yang datang dari dalam diri) maupun yang bersifat eksternal (yang datang dari luar diri – instrumental input dan environmental input). Secara skematik, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku belajar tersebut digambarkan sebagai berikut :

Guru, Metode, Teknik, Media, Bahan/Sumber

INSTRUMENTAL INPUT

IQ R

Bakat A

Motivasi W

Minat

Kematangan I

Kesiapan N

Sikap P

Kebiasaan U

Dll T

PERILAKU

BELAJAR

HASIL

BELAJAR

ENVIRONMENTAL INPUT

Sosial, Fisik, Kultural, dll.

Gambar 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Belajar

Sumber : Modifikasi dari Abin Syamsuddin Makmun, 1986

Gambar di atas menunjukkan bahwa, secara garis besar perilaku belajar siswa dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu : raw input (siswa dengan segala potensinya), instrumental input (guru, metode, teknik, bahan/sumber, dll), dan environmental input (Sosial, fisik, kultural, dll).

Dalam konteks penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku belajar akan dilihat dari sisi instrumental input (yaitu aspek guru, khususnya mengenai kepemimpinannya) dan environmental input (yaitu aspek lingkungan sosial, khususnya mengenai iklim organisasi).

Karena faktor kepemimpinan guru dan iklim organisasi kelas juga merupakan variabel yang ikut mempengaruhi kualitas belajar dan mengajar di kelas, perbaikan terhadap kepemimpinan dan iklim organisasi kelas dapat digunakan untuk memprediksi perbaikan kualitas pendidikan di masa-masa yang akan datang.

Penciptaan iklim organisasi kelas yang baik, yaitu iklim yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar yang efektif, peranan kepemimpinan guru jelas sangat menentukan. Guru dengan masing-masing keunikan dan kekomplekannya serta gaya kepemimpinan yang berbdea-beda akan memberikan warna tersendiri terhadap iklim organisasi kelas yang tercipta. Hasil penelitian Litwin dan Stringer pada tahun 1968 yang dikutip oleh Steers mengemukakan bahwa “Gaya kepemimpinan atau manajemen merupakan satu-satunya faktor penentu yang paling penting bagi iklim organisasi”.[14]

Dengan mengetahui perilaku kepemimpinan guru, iklim organisasi kelas yang sebenarnya dan perilaku belajar siswa, maka perbaikan kualitas pendidikan dapat diraih dengan dasar tersebut.

Berdasarkan beberapa alasan di atas, adalah sangat beralasan untuk mengatakan bahwa penelitian tentang perilaku kepemimpinan guru, iklim organisasi kelas di sekolah dasar penting dilakukan dalam rangka membantu peningkatan kualitas pendidikan.

Kepemimpinan Guru (V1)

Penelitian ini akan mengarah pada 3 komponen besar, yaitu : 1) perilaku kepemimpinan guru, 2) iklim organisasi kelas, dan 3) hubungan dengan perilaku belajar siswa. Secara sistematik, kaitan antar variabel penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Iklim Organisasi Kelas (V2)

Perilaku Belajar Siswa (V3)

Gambar 2. Kaitan Variabel Penelitian

Berdasarkan pada beberapa pokok permasalahan yang dinyatakan dalam uraian terdahulu, bahwa dalam persekolahan diharapkan para siswa dapat berbuat dan bertindak sesuai dengan harapan-harapan sekolah. Harapan-harapan sekolah itu berkisar pada keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dan penyelesaian tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepada para siswanya. Cara siswa merespon terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan dan penyelesaian tugas-tugas inilah yang disebut perilaku belajar. Terdapat berbagai variabel dalam penampakan perilaku belajar siswa. Ada siswa yang menanggapinya secara aktif, ada yang memberi tanggapan secara pasif/permisif, dan ada pula cara penanggapan siswa yang lebih cocok dikaitkan dengan kombinasi antara perilaku aktif dengan perilaku pasif. Perilaku seperti ini menurut Yamamoto disebutnya keaktifan insidental.[15]

Dalam penampakkan perilaku belajarnya itu, siswa berada dalam suatu suasana hubungan tertentu dengan para personil sekolah terutama dengan guru. Suasana hubungan dengan guru itu berada dalam suatu iklim tertentu yang disebut dengan iklim organisasi kelas. Iklim organisasi kelas ini tidak lain adalah hal-hal yang dijumpai dalam suasana hubungan yang ada antara guru dengan para siswa dan siswa dengan sesamanya. Seperti yang dikemukakan dalam latar belakang masalah, bahwa sekolah termasuk organisasi sosial yang memberikan pelayanan kepada para langganan atau kliennya, dalam hal ini adalah para siswanya. Dalam memberi pelayanan ini, perilaku kepemimpinan guru dimungkinkan memberikan warna terhadap iklim yang tercipta dalam kelas serta terhadap perilaku nelajar para siswanya. Warna yang tercipta dalam suasana hubungan atau iklim organisasi kelas ini kemungkinan juga akan berpengaruh terhadap perilaku belajar siswa.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran dan pembatasan masalah seperti di ataslah uraian ini merupakan suatu kajian tentang perilaku kepemimpinan guru, iklim kelas dan bagaimana hubungannya dengan pola perilaku belajar para siswanya. Karena studi ini dilaksanakan pada Sekolah Dasar di Kecamatan Lebakwangi Kabupaten Kuningan, maka rumusan masalahnya adalah : “Kepemimpinan guru, iklim organisasi kelas, dan hubungannya dengan pola perilaku belajar siswa pada Sekolah Dasar di Kecamatan Lebakwangi Kabupaten Kuningan”.

Kepentingan pembahasan selanjutnya, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat praktis dalam bidang pendidikan pada umumnya dan bidang studi administrasi pendidikan pada khususunya, maka rumusan masalah pokok seperti di atas dapat diturunkan ke dalam berbagai masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana hubungan kepemimpinan guru (V1) dengan iklim organisasi kelas (V2) pada sekolah dasar di Kecamatan Lebakwangi ?

2. Bagaimana hubungan kepemimpinan guru (V1) dengan perilaku belajar siswa (V3) pada sekolah dasar di Kecamatan Lebakwangi ?

3. Bagaimana hubungan antara kepemimpinan guru (V1) dan iklim organisasi kelas (V2) dengan perilaku belajar siswa (V3) pada sekolah dasar di Kecamatan Lebakwangi ?

E. Tujuan Penelitian dan Keluaran yang Diharapkan

Sejalan dengan rumusan dan pertanyaan penelitian yang dikemukakan di atas, maka secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat membantu peningkatan kualitas pendidikan melalui tingkat mikro, khususnya melalui perilaku kepemimpinan guru, iklim organisasi kelas, serta pola perilaku belajar siswa. Dari hasil studi analisis ini nantinya dapat diungkapkan usaha untuk mendorong guru-guru agar dapat menerapkan perilaku kepemimpinan yang efektif, yang dapat membangkitkan partisipasi aktif siswa dalam proses pengajaran dan nantinya akan menunjang efektivitas proses belajar mengajar yang dilaksanakan.

Sedangkan tujuan khususnya adalah :

1. Untuk dapat mengetahui hubungan fungsional perilaku kepemimpinan yang diterapkan guru dalam penciptaan iklim organisasi kelas.

2. Untuk dapat mengetahui hubungan fungsional perilaku kepemimpinan yang diterapkan guru dengan perilaku belajar siswa.

3. Untuk dapat mengetahui derajat keterhubungan iklim organisasi kelas yang memberikan pengaruh positif dalam pembentukan perilaku belajar siswa yang menunjang pencapaian tujuan pendidikan secara optimal.

4. Untuk dapat memberikan gambaran tentang perilaku kepemimpinan guru yang menunjang penciptaan iklim organisasi yang kondusif dan membentuk pola perilaku belajar yang aktif dari siswa yang menunjang pencapaian tujuan pendidikan secara optimal.

F. Kegunaan Penelitian

Apabila tujuan-tujuan penelitian terhadap iklim organisasi kelas yang tercipta atas dasar perilaku kepemimpinan guru dan yang memeberikan pengaruh terhadap terbentuknya pola perilaku belajar siswa yang baik, maka hasil-hasilnya akan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut :

1. Sebagai bahan masukan bagi guru-guru sekolah dasar dalam menerapkan perilaku kepemimpinan agar dapat membentuk pola perilaku belajar siswa yang menunjang pencapaian tujuan secara maksimal.

2. Sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah dan pengawas selaku pemimpin dan pembina guru-guru, sehingga praktek supervisi yang dilaksanakan dapat lebih terfokus pada perbaikan proses belajar mengajar, yang akhirnya menunjang pencapaian tujuan pendidikan secara khusus.

3. Sebagai bahan masukan bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikanyang berfungsi mempersiapkan calon guru, khususnya PGSD yang mencetak calon guru SD untuk memberikan pengetahuan tentang gaya kepemimpinan yang mendukung pencapaian tujuan secara optimal, iklim organisasi kelas yang kondusif serta perilaku belajar siswa yang positif.


[1] Vebrianto, 1990, h. 42.

[2] Ace Suryadi, 1992.

[3] Mohammad Ansyar, 1994, h. 47.

[4] Ibid, h. 25.

[5] Kompas, Pebruari 1994.

[6] Media Indonesia, Pebruari 1994.

[7] MENPAN, 1989, h. 1-26.

[8] Tilaar, 1992, h. 46.

[9] Sutjipto, 1991, h. 1.

[10] Suharsimi Arikunto, 1990, h. 30, Sahertian, 1990, h. 15.

[11] Thomas, Day, dan Lord di dalam Hoy dan Miskel, 1987, h. 252.

[12] Lipham, 1985, h. 2.

[13] Keith Davis di dalam Oteng Sutisna, 1985, h. 255.

[14] Steers, 1985, h. 128.

[15] Yamamoto di dalam Uzer Usman, 1991.

Tinggalkan komentar